Sunday, May 26, 2013

Sepenggal Cerita Hidup



Namaku Ajeng aku tinggal di kota kecil yang populasinya kurang lebih 9000 orang, semua serba terbatas. Kebanyakan warga kota ini bekerja di Surabaya. Mojokerto adalah tempat singgah mereka karena tak ada lagi lahan untuk tinggal di Surabaya. Dan aku termasuk warga asli dan tulen Mojokerto. Kecuali Ayah dan Ibuku yang pendatang.
Apa yang bisa dibanggakan dari kota kecil ini?
Tidak ada apa-apa. Aku berpikir Mojokerto adalah kota tersepi dan terkecil di Jawa. Kalau di Twilight Saga mungkin seperti gambaran Bella Swan tentang Forks. Tapi di kota ini tidak ada keluarga Cullen dan vampir-vampir. Satu-satunya tempat hiburan hanya di Jalan Benteng Pancasila. Buka 24 jam. Mau nongkrong? Bisa. Mau pacaran? Boleh. Mau balapan? Lebih keren dari sirkuit international. Mau wisata kuliner? Bisa saja. Komplit, tetapi luasnya tidak seberapa, hanya saja bisa memberi hiburan kepada kota suram ini.
19 tahun hidup di kota ini hampir membuatku muak. Untunglah aku di terima di PTN di Surabaya. Yah walaupun aku harus jauh dari kenyamanan orang tua. Tapi aku bebas dari
kota suram itu.

Tapi, sesuram-suramnya Mojokerto. Ada satu pengalaman yang paling menyentuh hatiku, dan akan selalu ada di dalam ingatan burukku ini.

3 tahun yang lalu bulan Juli, ketika penerimaan siswa baru, aku dan Ayah pergi membeli formulir pendaftaran seharga 25.000. Aku berpikir, kenapa formulir yang isinya kalau aku yang membuat sendiri hanya 15.000 bisa jadi 25.000?

Setelah itu kami pulang. Ibu membantuku mengisi formulir itu di rumah. Saat asyik mengisi formulir, tiba-tiba seorang laki-laki setengah baya dan seorang anak perempuan yang kira-kira sudah lulus SMA.

''Jeng, masuk dulu. Formulirnya di isi sendiri. Pasti bisa.''
Aku menuruti kata-kata Ibu. Aku masuk ke kamar. Tetapi aku penasaran dengan tamu yang datang, karena belum pernah aku mengenal tamu tersebut. Lalu diam-diam aku pergi ke balik tirai penghubung ruang tamu dan dapur kecil kami.

''Tolonglah, Bu. Anak saya lulus SD tetapi saya takut dia tidak diterima di SMP Negeri. Saya bisa memberikan jaminan apapun asal Ibu Guru bisa memasukkan anak saya ke SMP Negeri tempat Ibu mengajar.''

''Nilai nem kamu berapa, Nak?''
''26,95.'' jawab anak itu. Kukira sudah lulus SMA ternyata jauh lebih muda dariku.
''Pak, janganlah menyerah. Janganlah anda membuat pikiran anak bapak pesimis. Yakinlah. Tanpa cara seperti inipun, anak bapak bisa di terima di SMP Negeri terbaik di kota ini. Saya jamin itu. Jika bapak dan putri bapak optimis.''

Aku mendengar langkah sandal yang agak keras dan diseret dengan langkah teratur. Itu pasti Ayah. Dari suara langkahnya aku sudah mengethuinya, berkat pengalaman bertahun-tahun tinggal di keluarga aneh bin ajaib ini.

Aku bergegas kembali ke kamarku. Mengisi formulir sesuai arahan Ibu. Setelah kuselesaikan mengisi formulir itu, aku kembali merenungkan kata-kata Ibu. Sudah bertahun-tahun setiap bulan Juni dan Juli Ibu kedatangan tamu dan membicarakan pokok pembicaraan yang sama. Belkangan, aku baru menyadari bahwa tamu-tamu itu sedang berusaha menyuap Ibu untuk memasukkan anaknya ke SMP tempat Ibu mengajar. Tetapi jawaban Ibu juga selalu sama.

3 bulan kemudian aku sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru. Aku juga sudah punya beberapa teman baik. Aku ikut ekstra Pecinta Alam, OSIS, jurnalistik, dan English Club. Tetapi aku lebih cenderung ke English Club, karena dari SMP aku sudah ingin jadi seorang Debater yang hebat.

Di sekolah aku sangat dekat dengan seorang guru. Miss Andra. Dia membimbingku ketika debat. Selalu setiap ada waktu luang aku dan tim debat latihan dengan Miss Andra. Walaupun kami sangat dekat dengannya, tak jarang kami menggunjingkannya saat beliau marah pada kami karena tidak disiplin dll. Tapi kami tetap sayang padanya. Aku, Meme, Andy. Kami tim debat yang tersisa di SMA 3.
Berbagai lomba kami ikuti, latihan-latihan juga kami jalani. Hanya saja mungkin Tuhan ingin kami hanya raja debat sekolah saja.
Kami tidak pernah menang di luar sekolah.
Tetapi kami tetap saja kekeuh untuk berdebat.
Tak terasa sudah memasuki bulan ke 3 semester genap.
Aku anak perempuan normal, aku juga bisa jatuh cinta. Dan hatiku malah jatuh di hati sahabatku sendiri. Dan yang lebih ajaib, dia memintaku jadi pacarnya. Ini memang yang pertama aku punya pacar. Awalnya aku sangat menkmati masa-masa pacaran. Sampai aku melupkan semua hal di sekelilingku. Latihan debat jarang aku lakukan bahkan tidak pernah. Aku terlalu memilih untuk pergi pacaran. Aku juga jarang berdiskusi dengan teman-teman. Pada saat itu aku merasa dunia milikku dan miliknya. Hingga pada suatu hari , aku mendapati tatapan Ibu yang kosong. Tidak, bukan kosong. Tetapi ekspresi kesakitan. Ternyata nilai-nilai itu, nilai raportku. Jatuh bagaikan atlit terjun payung yang mendarat gagal di landasan. Mungkin diluar aku cuek saja melihat Ibu seperti itu, tapi lama-lama hatiku sakit juga. Bukan karena nilai-nilai jelek itu. Tetapi rasa kecewa Ibu padaku. Ayah terus menyindirku sepanjang liburan kenaikan kelas. Aku hanya bisa diam. Aku memasang wajah cuek seolah tak peduli.
Tunggu dulu, dimana kekasihku? Dimana dia saat aku sedang berusaha bangkit di tengah keterpurukanku? Hatiku tersakiti 2 kali. Lalu ketika semngatku mulai tumbuh dan aku bertekad untuk menghapus rasa kecewa Ibu terhadapku. Dia muncul lagi. Aku menerimanya kembali masuk dalam kehidupanku. Tapi bodohnya aku, aku kembali melupakan orang-orang di dunia ini selain kekasihku. Hingga di suatu siang, kudapati iya sedang merayu gadis lain. Sebagai anak remaja yang baru pertama kali patah hati aku bingung, dunia seakan runtuh. Tepat pada saat dunia ini tinggal hancur dengan sekali pukulan, 2 orang datang meraihku ke dunia nyata kembali. Meme dan Andy. 1st speakerku, dan 2nd speakerku. Mereka tersenyum, seolah aku tidak pernah meninggalkan luka untuk mereka.
Akhirnya aku kembali ke pelukan teman yang sebenarnya. Yang kutinggalkan tapi tetap menerimaku. Hanya mereka yang tahu, bagaimana cara memaafkanku. Hidupku kembali seperti semula. Aku mulai membangun kembali mentalku, aku belajar sebisaku. Dan aku kembali menemukan ritme hidupku.
Lalu bagaimana dengan mantan kekasih? Kebanyakan orang putus pacaran lalu tidak saling sapa. Tapi aku memaafkannya dan kembali menjadi temanku walau tidak sedekat dulu. Tapi aku bersyukur kepad Tuhan. Karena pernah memberitahuku, kalau ada orang-orang hebat yang membelkau ketika orang-orang pecundang memecundangiku.

No comments:

Post a Comment