Namaku Ajeng aku tinggal di kota kecil yang populasinya
kurang lebih 9000 orang, semua serba terbatas. Kebanyakan warga kota ini
bekerja di Surabaya. Mojokerto adalah tempat singgah mereka karena tak ada lagi
lahan untuk tinggal di Surabaya. Dan aku termasuk warga asli dan tulen
Mojokerto. Kecuali Ayah dan Ibuku yang pendatang.
Apa yang bisa dibanggakan dari kota kecil ini?
Tidak ada
apa-apa. Aku berpikir Mojokerto adalah kota tersepi dan terkecil di Jawa. Kalau
di Twilight Saga mungkin seperti gambaran Bella Swan tentang Forks. Tapi di
kota ini tidak ada keluarga Cullen dan vampir-vampir. Satu-satunya tempat
hiburan hanya di Jalan Benteng Pancasila. Buka 24 jam. Mau nongkrong? Bisa. Mau
pacaran? Boleh. Mau balapan? Lebih keren dari sirkuit international. Mau wisata
kuliner? Bisa saja. Komplit, tetapi luasnya tidak seberapa, hanya saja bisa
memberi hiburan kepada kota suram ini.
19 tahun hidup di kota ini hampir membuatku muak. Untunglah
aku di terima di PTN di Surabaya. Yah walaupun aku harus jauh dari kenyamanan
orang tua. Tapi aku bebas dari
kota suram itu.
Tapi, sesuram-suramnya Mojokerto. Ada satu pengalaman yang
paling menyentuh hatiku, dan akan selalu ada di dalam ingatan burukku ini.
3 tahun yang lalu bulan Juli, ketika penerimaan siswa baru,
aku dan Ayah pergi membeli formulir pendaftaran seharga 25.000. Aku berpikir,
kenapa formulir yang isinya kalau aku yang membuat sendiri hanya 15.000 bisa
jadi 25.000?
Setelah itu kami pulang. Ibu membantuku mengisi formulir itu
di rumah. Saat asyik mengisi formulir, tiba-tiba seorang laki-laki setengah
baya dan seorang anak perempuan yang kira-kira sudah lulus SMA.
''Jeng, masuk dulu. Formulirnya di isi sendiri. Pasti
bisa.''
Aku menuruti kata-kata Ibu. Aku masuk ke kamar. Tetapi aku
penasaran dengan tamu yang datang, karena belum pernah aku mengenal tamu
tersebut. Lalu diam-diam aku pergi ke balik tirai penghubung ruang tamu dan
dapur kecil kami.
''Tolonglah, Bu. Anak saya lulus SD tetapi saya takut dia
tidak diterima di SMP Negeri. Saya bisa memberikan jaminan apapun asal Ibu Guru
bisa memasukkan anak saya ke SMP Negeri tempat Ibu mengajar.''
''Nilai nem kamu berapa, Nak?''
''26,95.'' jawab anak itu. Kukira sudah lulus SMA ternyata
jauh lebih muda dariku.
''Pak, janganlah menyerah. Janganlah anda membuat pikiran
anak bapak pesimis. Yakinlah. Tanpa cara seperti inipun, anak bapak bisa di
terima di SMP Negeri terbaik di kota ini. Saya jamin itu. Jika bapak dan putri
bapak optimis.''
Aku mendengar langkah sandal yang agak keras dan diseret
dengan langkah teratur. Itu pasti Ayah. Dari suara langkahnya aku sudah
mengethuinya, berkat pengalaman bertahun-tahun tinggal di keluarga aneh bin
ajaib ini.
Aku bergegas kembali ke kamarku. Mengisi formulir sesuai
arahan Ibu. Setelah kuselesaikan mengisi formulir itu, aku kembali merenungkan
kata-kata Ibu. Sudah bertahun-tahun setiap bulan Juni dan Juli Ibu kedatangan
tamu dan membicarakan pokok pembicaraan yang sama. Belkangan, aku baru
menyadari bahwa tamu-tamu itu sedang berusaha menyuap Ibu untuk memasukkan
anaknya ke SMP tempat Ibu mengajar. Tetapi jawaban Ibu juga selalu sama.
3 bulan kemudian aku sudah bisa beradaptasi dengan
lingkungan sekolah baru. Aku juga sudah punya beberapa teman baik. Aku ikut
ekstra Pecinta Alam, OSIS, jurnalistik, dan English Club. Tetapi aku lebih
cenderung ke English Club, karena dari SMP aku sudah ingin jadi seorang Debater
yang hebat.
Di sekolah aku sangat dekat dengan seorang guru. Miss Andra.
Dia membimbingku ketika debat. Selalu setiap ada waktu luang aku dan tim debat
latihan dengan Miss Andra. Walaupun kami sangat dekat dengannya, tak jarang
kami menggunjingkannya saat beliau marah pada kami karena tidak disiplin dll.
Tapi kami tetap sayang padanya. Aku, Meme, Andy. Kami tim debat yang tersisa di
SMA 3.
Berbagai lomba kami ikuti, latihan-latihan juga kami jalani.
Hanya saja mungkin Tuhan ingin kami hanya raja debat sekolah saja.
Kami tidak pernah menang di luar sekolah.
Tetapi kami tetap saja kekeuh untuk berdebat.
Tak terasa sudah memasuki bulan ke 3 semester genap.
Aku anak perempuan normal, aku juga bisa jatuh cinta. Dan
hatiku malah jatuh di hati sahabatku sendiri. Dan yang lebih ajaib, dia
memintaku jadi pacarnya. Ini memang yang pertama aku punya pacar. Awalnya aku
sangat menkmati masa-masa pacaran. Sampai aku melupkan semua hal di
sekelilingku. Latihan debat jarang aku lakukan bahkan tidak pernah. Aku terlalu
memilih untuk pergi pacaran. Aku juga jarang berdiskusi dengan teman-teman.
Pada saat itu aku merasa dunia milikku dan miliknya. Hingga pada suatu hari ,
aku mendapati tatapan Ibu yang kosong. Tidak, bukan kosong. Tetapi ekspresi
kesakitan. Ternyata nilai-nilai itu, nilai raportku. Jatuh bagaikan atlit
terjun payung yang mendarat gagal di landasan. Mungkin diluar aku cuek saja
melihat Ibu seperti itu, tapi lama-lama hatiku sakit juga. Bukan karena
nilai-nilai jelek itu. Tetapi rasa kecewa Ibu padaku. Ayah terus menyindirku
sepanjang liburan kenaikan kelas. Aku hanya bisa diam. Aku memasang wajah cuek
seolah tak peduli.
Tunggu dulu, dimana kekasihku? Dimana dia saat aku sedang
berusaha bangkit di tengah keterpurukanku? Hatiku tersakiti 2 kali. Lalu ketika
semngatku mulai tumbuh dan aku bertekad untuk menghapus rasa kecewa Ibu
terhadapku. Dia muncul lagi. Aku menerimanya kembali masuk dalam kehidupanku.
Tapi bodohnya aku, aku kembali melupakan orang-orang di dunia ini selain
kekasihku. Hingga di suatu siang, kudapati iya sedang merayu gadis lain.
Sebagai anak remaja yang baru pertama kali patah hati aku bingung, dunia seakan
runtuh. Tepat pada saat dunia ini tinggal hancur dengan sekali pukulan, 2 orang
datang meraihku ke dunia nyata kembali. Meme dan Andy. 1st speakerku, dan 2nd
speakerku. Mereka tersenyum, seolah aku tidak pernah meninggalkan luka untuk
mereka.
Akhirnya aku kembali ke pelukan teman yang sebenarnya. Yang
kutinggalkan tapi tetap menerimaku. Hanya mereka yang tahu, bagaimana cara
memaafkanku. Hidupku kembali seperti semula. Aku mulai membangun kembali
mentalku, aku belajar sebisaku. Dan aku kembali menemukan ritme hidupku.
Lalu bagaimana dengan mantan kekasih? Kebanyakan orang putus
pacaran lalu tidak saling sapa. Tapi aku memaafkannya dan kembali menjadi
temanku walau tidak sedekat dulu. Tapi aku bersyukur kepad Tuhan. Karena pernah
memberitahuku, kalau ada orang-orang hebat yang membelkau ketika orang-orang
pecundang memecundangiku.
No comments:
Post a Comment