Perjalan Raga dan Jiwa di Penanggungan
Sepulang aku dari pendakian ke Gunung Lawu. Aku tidak
beristirahat seperti biasa. Aku malah online via Facebook. Melihat status
teman-teman di Facebook yang habis dari Lawu. Tiba-tiba saja ketua PA ku
online. Lalu di berandaku ada statusnya
:Tahun Baru ke Penanggungan,
Aku termenung, tahun baru 2 hari lagi. Padahal barusan aku pulang dari Lawu,
apakah aku harus pergi lagi? Lalu aku berpikir, lebih baik aku naik ke Gunung
Penanggungan merayakan tahun baru bersama temn-teman daripada aku pergi rea reo
tidak jelas di kota.
Aku belum berani bilang kepada Bapak dan Ibu. Aku berdoa dan
terus berdoa setiap saat. Berharap Allah mengabulkan doa hambaNya yang lemah
ini. Aku lalu menghubungi Mas Adam, mantan ketua PA ku. Aku bertanya apakah
sebaiknya aku ikut? Lalu dia menjawab aku harus ikut. Lalu berbekal niat dan
doa, kutemui Ibu. Ku ungkapkan segala kegundahan hatiku kepada beliau. Dengan
lembut beliau mengusap kepalaku. Beliau tersenyum. Alhamdulilah Ya Allah, Ibu telah
memberikan restunya. Hingga satu jam sebelum aku berangkat, aku belum
bilang kepada Bapak.
Dengan berdoa dalam hati, aku meminta izin beliau. Dan
Alhamdulilah Ya Allah(lagi) beliau mengizinkanku. Jam 2 pas aku dijemput oleh
Mbak Gobez. Lalu kami berpamitan kepada Bapak dan Ibu. Lalu aku dibonceng
sepeda motor. Sebelum kami berkumpul di rumah Mas Akbar, kami mampir ke supermarket
untuk membeli butana. Supaya nanti tidak kekurangan bahan bakar saat di gunung.
Di supermarket yang sebesar itu kami berdua masuk membawa tas
yang besar-besar. Seperti orang mau “minggat” dan hanya membeli sekaleng butana
dan tisu basah satu lembar. Lalu setelah dari supermarket aku dan Mbak Gobez
pergi ke rumah Mas Akbar. Disana kami berkumpul, kami menunggu beberapa rekan kami.
Saat sampai dirumah Mas Akbar sudah ada Mas Faris, Mbak Falen
, dan Mbak Puput. Ternyata mereka juga
ikut. Mbak Gobez langsung pergi menjemput Mbak Chum. Lalu Mas Adam dan Mbak Ina
datang, selanjutnya Mas Somat dan Mas Wardana datang, lalu Mas agung.
Beberapa saat kemudian Mbak Gobez menyuruh kami berangkat,
karena dia dan Mbak Chum sudah perjalanan ke Mak Ti, tempat kami singgah
sebelum mendaki penanggungan.
Lalu kami berangkat, aku
satu sepeda motor dengan Mas Akbar.
Lalu kami berangkat, karena dibonceng aku tenang-tenang saja. Aku
menikmati pemandangan disekitarku, kubiarkan kaca plastik pelindung muka
terbuka, aku merasakan hembusan nikmat angin di wajahku.
Perlahan kami mulai meninggalkan daerah perkotaan,
pemandangan digantikan dengan hamparan sawah dan bukit. Lalu perlahan tampaklah
si Nona Penanggungan berdiri dengan anggungannya. Disebelahnya Arjuno-Welirang
juga berdiri dengan gagahnya.
Ah, sungguh indah sekali ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa ini.
Kurasakan, aku tak pernah menyesal ikut dalam perjalanan ini. Bagiku ini bukan
hanya perjalanan biasa,ini perjalanan jiwa. Tak henti-hentinya aku mengagumi
hamparan lukisan Sang Pencipta. Mas Akbar dan aku mengobrol sepanjang jalan,
mengobrol tentang gunung yang akan kami daki.
Udara mulai berubah sejuk. Aku semakin suka. Akhirnya kami
sampai di Mak Ti. Ternyata Mbak Chum dan Mbak Gobez sudah ada disana. Kami
makan sebentar lalu sholat. Jam 7an kami memulai pendakian.
Awalnya jalan yang kami lalui kebanyakan landai. Aku tidak
terlalu kelelahan, aku terus berjalan mentap kedepan. Gerimis menemani langkah
kami malam itu, aku sudah tidak bisa membedakan keringatku dan air hujan yang
membasahiku.
Lalu seorang seniorku menyuruhku menengok ke belakang, dengan
enggan kubelokkan tubuhku. Dan. Subhanallah…. Alangkah indahnya pemandangan di
depan mataku. Lampu-lampu kota dibawah sana berkelap kelip bagai foto kota Loa
Angeles di internet. Disaat itulah aku sadar, betapa kecilnya aku. Walaupun
sudah ke Lawu, baru kali ini benar-benar
kusadari betapa kecilnya aku. Tapi kenapa dulu aku begitu sombong , mengira
bahwa akulah yang paling besar di muka bumi ini.
Tak terasa air mataku menetes. Sejenak aku menikmati
perenunganku, lalu segera kuhapus air mataku dan segera tersenyum. Lalu
kulanjutkan perjalanan kami. Tiba-tiba hujan menjadi cukup deras, untunglah
kami belum masuk hutan. Jadi kami
berteduh dulu di sebuah warung, menunggu hujan reda.
Waktu masuk ke warung kami menjumpai beberapa pendaki lain.
Dan yang membuatku terkejut ternyata ada satu keluarga yang ikut mendaki. Wah,
hal ini sangat jarang terjadi. Karena kalau hanya ayah dan anak masih wajar
saja, tapi ini ayah, ibu, dan 3 orang anak mereka yang mungkin usianya masih
4-5 tahun. Kami bercengkrama dengan pendaki lain, tak sedikit dari kami yang yang membuat kekonyolan-kekonyolan, salah satu
sumber kekonyolan itu adalah aku
sendiri.
Kami tertawa bersama, bercanda, dan berbagi makanan. Mbak
Gobez yang sudah keleson (kelaparan) akhirnya mengeluarkan sebungkus nasi jagungnya. Rencananya nasi
jagung dan lauk pauknya akan dimakan di puncak bayangan saat tahun baru.
Berhubung cuaca belum memadai akhirnya kami ber12 memakan nasi jagung yang
tidak terlalu besar porsinya. Dan kami makan dibawah guyuran hujan(tak
memungkinkan makan di dalam karena warungnya sempit. He.. he.. he..)
Mungkin itu nasi jagung terenak di dunia. Dibawah guyuran
hujan, dalam keadaan kelaparan, dan bersama teman-teman. Sungguh istimewa.
Selesai makan kami membuang bungkusnya ke tempat sampah. Lalu hujan pun belum
reda. Aku berkata kepada teman-temanku. Kata tetanggaku, kalau sapu lidi kita
balik ke atas niscaya hujannya berhenti. Disebelah warung itu ternyata ada sapu
lidi. Kami membaliknya dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa.
Tapi hujan tak kunjung berhenti. Akhirnya kami memustuskan mendaki dalam guyuran hujan.
Mungkin saat itu jam 8 malam, kami memulai pendakian. Kami pamit kepada pemilik
warung dan beberapa orang pendaki yang masih ada disitu.
Juas hujan sudah kami pakai, senter sudah ada dalam genggaman
kami. Dan kami berjalan dalam diam, dalam
kedinginan. Awalnya jalan landai biasa. Namun lama-lama jalanan mulai menanjak.
Medan yang masih alami dan becek karena
diguyur hujan membuat medan menjadi sangat susah, apalagi di didalam
kegelapan.
Aku berjalan didalam jas hujan yang super besar, aku harus
mengangkut sebagian jas hujanku agar tidak selip diantara kedua kakiku.
Akhirnya karena didalam jas hujan agak panas, aku dan beberapa orang lainnya
melepas jas hujan kami. Walaupun kami basah , tapi itu lebih nyaman.
Makin lama jalan yang aku lalui makin susah, terkadang kami
harus saling menarik. Jalannya tidak ada yang landai, aku mulai kelelahan,
nafasku agak berat. Rasanya puncak bayangan jauh sekali. Sepanjang perjalanan
banyak akar kecil yang menari-nari meliuk-liuk dibawah kaki kami alias cacing
yang besar-besar dan panjang. Aku diam saja, karena jika aku berteriak, maka
akan heboh para perempuan itu ditengah gunung malam-malam begini.
Aku diam saja. Berusaha menyimpan tenagaku. Agar tidak
terbuang percuma untuk mengobrol, karena medan yang berat dan tidak ada “bonus”
trek landai. Langkahku semakin gontai saja, lalu kudengar suara dibelakang ada
yang berteriak. Aku menoleh kebelakang, ternyata Mbak Puput terpereset, iya
terlihat sangat kepayahan. Akhirnya kami berhenti, menungguinya yang sedang
istirahat. Lalu Mbak Ina mengajakku jalan lagi, biar Mas Wardana dan Mas-mas
yang menjaganya.
Lalu aku dan Mbak Ina melanjutkan perjalanan, berberapa kali
aku dan Mbak Ina terpeleset. Jalanan juga tidak membaik malah makin berat.
Entah mengapa nafasku benar-benar terasa sesak, mataku berkunang-kunang. Aku
diam, tetap berjalan sekali-kali aku mereguk air mineral.
Tapi rasanya tak mengurangi rasa lelahku. Mbak Ina yang tahu
mukaku sudah memucat menawarkan membawakan tasku. Karena agak tidak enak, dengan Mbak Ina yang tubuhnya mungil, aku
menolak. Tapi lama kelamaan tubhku makin tidak kuat, aku sering jatuh(karena
membawa persediaan air lebih banyak), akhirnya aku berikan tasku padanya.
Jalanku semkin ringan saja, lebih cepat. Lalu di depan kulihat Mbak Gobez berhenti,
ternyata dia menunggu kami, karena jalan yang ada didepan sangat sulit, kami
harus berpegangan pada sebuah pohon agar tidak jatuh ke jurang, kami lalu
estafet, Mbak Gobez duluan. Setelah
mencari pijakan yang mantap kami mengoper tas kami satu per satu, lalu gentian
kami satu per satu. Dan akhirnya kami lewati medan paling rumit itu. Beberapa
saat kemudian aku sadar kemana laki-laki?
Ternyata sebagian mereka sudah mendirikan tenda di puncak
bayangan(aku di sms temanku,karena di penanggungan ada signal) yang sebagian
lagi masih sama Mbak Puput. Lalu kami lanjutkan perjalanan, dibawah guyuran
hujan, kami bertemu beberapa pendaki, kami saling menyapa . aku bertanya pada
seorang seniorku. Katanya sih kurang dua tikungan, tapi kok tidak sampai-sampai.
Akhirnya aku berjalan diam, sekitar 20 menit kemudian tibalah kami di puncak
bayangan.
Alhamdulilahirobbilalamin, itulah yang pertama aku ucapkan.
Lalu aku merebahkan diriku diatas hamparan rumput . lalu kuambil Handphone ku.
Tiba-tiba saja perasaan rindu pada Ibu
muncul, aku lalu menangis di depan kawan-kawanku. Mereka tertawa melihatku.
Lalu Mas Faris menyuruhku menelepon Ibuku, aku mnelepon
beliau dan menceritakan semua perjuanganku sampai ke puncak bayangan Gunung
Penanggungan. Pendaki-pendaki lain hanya tertawa melihat tingkahku. Lalu Cak
Tajab danMas Fahmi datang, wah jadi semakin ramai saja penanggungan ini.
Lalu kami berganti pakaian yang sudah terlanjur basah,
jam23.45 kami semua menggelar jas hujan yang kami bawa, kami menikmati
pemandangan kota dari atas puncak bayangan, disebrang Penanggungan Sang Gunung
Arjuno-Welirang berdiri gagah.
Lalu ada beberapa kembang api yang dinyalakan di pet
bocor(kelihatan dari penanggungan). Dari sini terlihat bebrapa tempat sedang
berpesta kembang api. Kami seperti orang “ndeso” yang tidak pernah melihat
kembang api sebelumnya. Tapi sungguuh pemandangan ini indah sekali. Saat itu
aku duduk diantara Mas Fahmi dan Mas Wardana, dua orang itu badannya lumuayan
besar, dan badanku kecil jadinya lumayan hangat(hehehe). Lalu Mas Fahmi dan Mas
Wardana berdebat dengan sepak bola, akhirnya kami browsing internet untuk
membenarkan argument itu, lalu aku membuka Facebook dan update status,haaha..
Jam 00.00 kami semua bersorak menyambut tahun baru 2012.
Sangat menyenangkan sekali. Semuanya bahagia saat itu, dan ini pertama kali aku
merayakan tahun baru dengan penuh perjuangan. Kami menikmati kembang api yang
saling bersahutan, rasanya kecil sekali kembang api itu. Disnilah aku kembali
merenung, kecil sekali kami manusia.
Jam 00.01 rata-rata sudah tidur di tenda. Aku akhirnya
memutuskan kembali ke tenda, membuat makan malam(walaupun hanya mie goreng
saja). Karena kawan perempuanku yang lain sudah tidur. Akhirnya aku dan Mas
–mas nya masak,(lebih tepatnya aku), setelah matang kami makan mie itu
bersama-sama. Walaupun hanya kebagian sedikit, tapi rasanya sungguh
mengeyangkan dan nikmat.
Akhirnya aku kelahan lalu tertidur di matras depan tenda,
saat tidur aku bermimpi Ibuku menyuruhku pergi kesekolah(ternyata baru aku
tahu, Mas-mas yang mengerjaiku). Jam set 5 aku bangun, yang melanjutkan ke
puncak utama hanya aku, Mbak Gobez, Mbak
Chum, Mbak Falen, Mas Wardana, dan Cak Tajab.
Medannya lumyan berat, dengan kemiringan 60°. Jalannya sangat
tidak menyenangkan, beberapa kali aku tergelincir. Dan perjalanan juga lumyan
berat, kami melewati jalan berbatu-batu. Karena sandalku kebesaran,
berkali-kali aku tergelincir, hingga akhirnya aku dibelakang sendiri bersama
Cak Tajab, aku terus melangkah tanpa lelah. Pikiranku hanya satu. Puncak.
Akhirnya perlahan terlihatlah Puncak nona Penanggungan.
Rasa lelahku seakan hilang,aku lalu berlari menyusul
teman-temanku yang sudah sampai duluan. Sungguh senang rasanya.
Dipuncak kami berfoto dengan Sang Merah Putih
Setelah puas foto-foto kami turun, dperjalan turun pu n kami
masih saja berfoto ria.
didepanku ada Arjuno-Welirang
Akhirnya kami sampai di puncak bayangan, setelah istirahat
dan makan, kami berkemas. Mebumpulkan sampah yang telah kami buat, lalu
membungkusnya untuk dibuang ke tempat sampah dibawah. Kami tidak mau menyandang
organisasi pecinta alam tapi tidak
berperilaku mencintai alam.
Lalu kami melanjutkan perjalanan dari puncak bayangan turun
ke Mak Ti. Sepanjang perjalanan banyak kejadian-kejadian lucu. Karena semalam hujan, jalanan menjadi
sangat licin, kami semuat sempat terpeleset. Sepanjang jalan penanggungan
menjadi sangat ramie dengan nyanyian sumbang kami. Sungguh menyenangkan
rasanya.
Sampai di Mak Ti, kami semua mebersihkan diri lalu makan
rawon khas Mak Ti. Lalu pulang kerumah masing-masing. :D
Itulah perjalan raga dan jiwa. Sungguh tak akan terlupa.
mantap,, walupun blom baca semua.. hehehehe
ReplyDeletesipp ,, Mkasih sudah berkunjung :D
ReplyDeleteAjeng, aku susul kamu ke puncak penanggungan. . . :D
ReplyDeletesipp.. tak tunggu .. ojok suwe2 :P
ReplyDelete