Ini
bukan kisah cinta yang indah. Seperti di kebanyakan cerita lain, sepasang
kekasih yang berjuang untuk mempersatukan cinta mereka dan di akhir cerita
mereka berbahagia. Namun ini kisah setelah kebahagiaan sepasang kekasih
terwujud.
Flashback
“Jadi siapa sih yang sebenarnya yang kamu
suka?” aku menggelayuti lengannya. Ia hanya tersenyum sambil menarik hidungku.
“Kamu dulu saja. Siapa yang kamu suka?” loh
kok malah berbalik pertanyaannya.
Sebenarnya, orang yang aku sukai itu dia. Orang
sedang duduk bercanda bersamaku di kelas pulang sekolah. Mana mungkin aku
mengakui lebih dulu. Sebenarnya aku sudah dekat dengan Nata sejak beberapa
bulan yang lalu. Aku tahu dia sudah punya pacar. Tapi aku saja yang bandel
tidak mau menahan perasaanku.
Sekarang aku harus mengakui perasaanku. Apapun
resikonya. Meskipun harus mengorbankan persahabatan kami. “Kamu!” aku
memalingkan wajahku. Adeh.. malu sekali rasanya. Aku tidak mau melihat bagimana
reaksinya. “Kalau kamu?”
“Kamu.” Apa? Aku tidak salah kan? Aku tidak
bermimpi kan? Sorak sorai, kembang api berpesta pora di jiwaku.
“Haah?” aku masih melongo. Ini pertama
kalinya ada yang membalas perasaanku. 17 tahun hidup di dunia. akhirnya ada
yang membalas cintaku. Ia hanya tersenyum. Untuk pertama kali dalam hidupku. Aku
tidak bisa berkata-kata.
Akhirnya.
Dua bulan lamanya kami sudah berpacaran. Aku
tipe orang yang sangat jarang mengungkapkan cinta. Bagiku hubungan ini sangat special.
Kami memang tidak pernah kencan seperti ABG yang lain. Tapi bagiku cukup dekat
dengannya sudah membuatku bersyukur.
Dua bulan berlalu dengan semua
kegembiraanku. Tak sadar sesuatu sedang menanti untuk meledak.
Apabila kekasih masih menghubungi sang
mantan. Shit! Untuk pertama kalinya aku merasa cemburu. Murka dengan emosi yang
tidak tertahankan. Orang pernah bilang. Cemburu itu bumbu cinta. Tapi rasanya
kali ini cemburuku sudah kelewat batas. Bagaimana tidak. Intensitasnya menhubnhi
si mantan lebih banyak daripada denganku. Apalagi setelah kami pisah kelas. Ulang
tahunku saja tidak ingat. Oh iya lupa. Dia lupa kalau punya pacar.
Dulu saat masih pacaran hamper setiap waktu
kami mengirim pesan singkat. Meskipun dengan kesibukannya sebagai “artis”
sekolah. Masih sempat-sempatnya mengirim pesan. Entah itu kata-kata gombal atau
hanya sekedar say goodnight.
Tapi setelah si mantan balik lagi sama si
pacar. Udah hilang rasa percayaku padanya. Kami mulai sering perang dingin. Tapi
dasar Nata sialan. Dia paling tahu aku tidak bisa diam. Apalagi didiamkan. Sampai
pada pertengahan bulan Juli dia benar-benar tidak menghungiku lagi. Tentu saja
aku seperti orang idiot.
Bingung sendiri dengan hubungan seperti ini.
Apa diakhiri saja? Tapi masih baru sekali. Mungkin masih ada harapan
melanjutkan hubungan kami. Mungkin dia hanya terlalu sibuk dengan semua kegiatannya
itu.
Jangan pernah punya Facebook kalau pengen
awet pacaran. Mungkin itu benar sekali. Aku sadar aku tipe orang yang jarang
bisa diajak berpikir rasional. Jadi ketika si mantan mengirim pesan yang
mesra-mesra ke wall facebook si kekasih aku sedih sekali. Yah, masa pacarnya
sendiri aja jarang ngewall, jarang sms. Eh si mantan malah lebih sering sms dan
main wall ke facebooknya si kekasih.
Ya udah, daripada aku gala uterus kayak
kucing di atas genteng. Akhirnya aku menemui si kekasih. Mau minta penjelasan. Setelah
dua hari nggak tegur sapa sama sekali. Akhirnya aku punya kesempatan berbicara
sama dia.
“Yang pacarmu itu aku apa si mantan sih?”
aku memainkan kedua kakiku. Mengetukkannya ke tanah.
“Kamu.” Jawabnya singkat banget. Cuek. Coba bukan
pacar sudah aku sira pakai air.
“Ya terus kenapa? kenapa seolah aku ini
nggak ada apa-apanya di hati kamu?” oke kalai ini aku mulai mau menangis.
“Bukan begitu, aku hanya mendahulukan teman
daripada pacar.”
“Ia
apalagi ia teman perempuan.” Aku mendengus kecil sehingga dia tidak
mendengarnya. Aku memainkan hapeku. Dia cuek sekali. Berbeda dengan 2 bulan
yang lalu. Atau aku yang berbeda. Jadi lebih cemburuan ya?
“Kamu percaya kan sama aku?” ia meletakkan
kedua tangannya yang besar ke pundakku.
Aku berbohong, “Iya.” Aku tidak berani
menatap matanya. Si kekasih ini orangnya tinggi besar. Beda denganku yang
pendek. Kayak pacaran sama orang dewasa aja.
“Ya udah, apapun yang aku lakuin itu nggak
pengarus sama apapun dalam hubungan kita.” Hey. Nggak ngaruh gimana? Ini udah
berbeda banget semenjak aku jadian sama kamu. Rasanya aku ingin meneriakkan
kata-kata itu di telinganya. Tapi yang keluar Cuma senyumanku. Ababilnya saya.
Aku piker setelah kejadian itu. Hubungan kami
akan membaik. Nyatanya sama saja. Aku jarang makan. Berat badanku turun(secara
tidak sadar aku sedang diet. Hehehe). Aku dirumah seperti mayat hidup. Apaun kulihat
suram. Diajak ngobrol sama orang rumah juga jadi malas. Intinya kegiatanku
dirumah itu nunggu kebar dari si kekasih.
Kalau di sekolah untungnyya aku punya
beberapa teman yang mau mendengarkan curhatku. Biasanya kami pulang sekolah
curhat sampai sore baru pulang. Kadang aku sampai menangis. Merasa tersaikiti
saat itu. Merasa bahwa akulah orang paling malang di dunia ini.
“Mang, si Nata beda banget sama dulu.” Aku menenggak
es jerukku.
“Ya, coba kamu komunikasi aja yang lancar. Soalnya
tanpa komunikasi yang baik biasanya hubungannya jadi renggang.” Ia mentapku
dengan malas.
“Mau komunikasi gimana? Sms aja nggak pernah
dibalas kok.” Aku melihatnya hanya mengangkat bahu lalu memainkan lagu di
hapenya.
“Ya udah. Putus saja. Gampang kan?”
Aku melempar kepalanya dengan buku paket
geografi yang tebal.” Sialan kamu.emang gampang apa putus?”
Dari percakapanku tadi, aku terus memikirkan
kemungkinan kami untuk putus. Tapi aku masih ingin dia menjadi milikku,
walaupun nyatanya ia tidak pernah kumiliki. Aku mengusir pikiran-pikiran jelek
dari kepalaku.
Dan hari-hari merana penuh harapan pada si
kekasih berlanjut. Si mantan masih aja getol sama si kekasih. Lama-lama gemes
sendiri. Riba-tiba di pikiranku terlintas-kalau mereka berdua masih saling
cinta, dan aku hanya pelarian sesaat buat si kekasih mengingat si kekasih orang
yang gampang bosan- .
Setiap hari aku mencari tahu kabarnya si
kekasih lewat teman-teman grup musiknya itu. Untungnya ada seorang teman yang
berbaik hati memberitahukan kedaannya kepadaku. Pernah suatu hari aku mengirim
sms berisi amarah pada si kekasih tapi hanya ditanggapi serak! Aku marah lah. Dia
piker aku bisa dibohongi. Dibohongi karena alas an sakit. Tapi pada
kenyataannnya di memang sakit.
Masa terseuram sepanjang hidup. Dan paling
idiot.
“Gimana kalau kita putus saja?”
“Apa? Nggak tahu. Kalau kamu udah nggak
cinta ya kita putus.”
“Kamu maunya gimana?”
“Kita nggak pernah putus.”
“Ya sudah.” Ia meninggalkanku begitu saja
setelah percakapn yang menyakitkan itu. Aku tahu dia minta putus tanpa harus
meminta persetujuanku. Tapi aku membohongi diriku. Aku membohongi diriku kalau
dia akan berubah seperti dulu. Tapi dia tidak akan berubah menjadi yang dulu. Tidak
akan pernah. Aku membohongi diriku sendiri.
Aku mengiriminya pesan.
“KENAPA KAMU MINTA PUTUS?”
“KARENA AKU BUTUH RUANG. AKU BUTUH
KONSENTRASI UNTUK KOMPETISI MUSIK NASIONAL ITU. AKU TIDAK MAU PERASAAN KACAUKU
MENGGANGGU CARA BERMAIN MUSIKKU.”
“AKU PIKIR DULU. Aku CINTA KAMU”
“TAPI KALAU KAMU NGGAK MAU PUTUS, TIDAK
APA-APA. Selama kamu masih cinta aku” Dan aku membiarkan diriku merasa dikasihani
oleh si kekasih.
Pemikiran itu menyentakkanku pada satu
kesadaran penuh. Hubungan yang tinggal menunggu roboh ini bertahan karena si
kekasih kasihan kepadaku. Aku bukan orang yang ingin dikasihani. Aku orang yang
kuat dan mandiri. Selama ini aku membiarkan diriku melemah seirng waktu.
Malunya aku menyadari aku telah menipu
diriku sendiri. Dan keputusan harus segera diambil. Iya atau tidak sama sekali.
Hari ini aku masih ada di rumah nenek. Dua hari lagi aku akan mengambil langkah
kecil yang akan mengubah hidupku. Mengembalikan kehidupanku yang dulu. Yang tanpa
cinta dari si kekasih. Aku mengambil hapeku.
“MANG, DUA HARI LAGI AKU PULANG. IKUT AKU KE
RUMAH NATA.”
“YA”
Aku sudah memantapkan hatiku. Aku harus
menghpaus luka ini denganobat yang menyakitkan tapi cepat menyembuhkannya. Aku menagis
sepanjang malam. Sampai akhirnya tetidur karena lelah dengan semua emosi ini.
Aku mengenakan gaun santai abu-abuku. Sebelum
ke rumah si kekasih aku menjemput Mang. Kami tiba dirumahnya. Ia terseyum
lembut kepadaku. Sudah sebulan aku tidak melihatnya. Rasanya rindu sekali. Berhenti.
Jangan biarkan emosi menguasaimu.
Saat ia mengambilkan kami minum, aku dan
Mang nonton film di laptop si kekasih. Lalu di sebelahnya ada hape si kekasih. Dengan
isenng aku membuka smsnya. Wah si mantan rajin sms ya. Bagus sekali. Aku saja hamper
tidak pernah sms si kekasih kok.
Si kekasih tahu apa yang aku laukan ia hanya
biasa saja. Tidak heboh. Rasanya lukaku ini seperti luka benanah yang disiram
air cuka. Perih sekali sampai mau menjerit. Aku sudah tidak mampu menangis. Sudah
kering air mataku.
Aku mengisyaratkan kepada kekasih agar kami
bicara berdua saja.
“Aku rasa kamu benar. Kita putus saj. Kita berteman
seperti dulu saja. Mungkin lebih mudah bagi kita.”
Ia hanya mengangguk. Ya kami bukan lagi dua
ABG labil yang sedang jatuh cinta. Kami hanya teman biasa. Ia tersenyum, ada
sedikit kelegaan yang terpancar dari senyumnya. Dan entah kenapa untuk pertama
kalinya. Aku juga merasa lega. Luar biasa lega. Rasanya tidak bisa diceritakan.
Aku mungkin
masih mencintainya hingga saat ini. Aku mungkin hanya bisa memndanginya dari
jauh. Tapi setidaknya aku tidak merasakan sakit yang berdenyut-denyutdi hatiku.
Aku bahagia sekarang. Aku bahagia tanpa seorang kekasih yang memberiku cinta. Aku
bahagia dia menemukan cinta yang baru. Aku tidak patah hati. Karena hatiku
tidak sembuh melainkan mati rasa.
Hingga saat
ini aku tidak pernah jatuh cinta pada orang lain. Aku meamng pernah dekat
dengsn beberapa orang. Tapi hanya sebatas teman. Aku tidak membiarkan mereka
menghidupkan indera perasa di hatiku. Karena dengan perasaan yang mati. Aku justru
bahagia,. Aku menikmati hidupku dengan lebih lega dan ikhlas.
Semua memang
tidak bisa kembali sama. Semua manusia berubah, sekecil apaun perubahan itu. Mereka
berubah. Aku hanya belum mengerti mengapa mereka berubah. Tapi aku berharap aku
tahu apa arti perubahan untuk manusia.
Kisah pasti
berakhir. Tapi cinta sejati tidak pernah punya akhir.
BY: GAYATRI GALUH
No comments:
Post a Comment