BAB 7
Ternyata mengakui cinta itu menyenangkan. Tidak ada
lahi perasaan ragu atau menduga-duga, seperti yang biasa kulakukan. Tapi tetap
saja rasanya tidak mungkin Jason yang sesempurna itu jatuh cinta padaku. Tapi
ya sudahlah, mungkin hati punya maunya sendiri.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengenal Jason. Dia sangat terbuka kepadaku. Apapun yang ingin kukrtahui tentangnya ia jawab. Aku sangat heran Jason mau membuang waktunya hanya untuk sekolah denganku, padahal ia sudah lulus 6 tahun yang lalu. Dan dengan mudahnya menyamar jadi siswa.
Jason berencana mengajakku ke rumahnya. Ini pertama
kali mengingat dia hamper tidak pernah memberitahukan tempat dimana dia tinggal.
Sekarang di sini kami berdua, di dalam sebuah mobil warna hitam. Ternyata rumah
Jason terletak di pinggiran kota. Agak masuk ke hutan pinus. Disana sebuah
rumah bergaya barat berdiri kokoh. Seperti ketika membayangkan rumah penyanyi
Amerika yang terkenal entah aku lupa siapa namanya.
“Ini rumah atau penginapan?” aku mengankat alisku
ketika ia membantuku turun. Oh iya Jason jadi kelewat posesif sekarang.
Tatapannya seperti ia akan melahapku bulat-bulat. Setiap gerakan yang aku
lakukan selalu diawasinya dan dibantunya ketika aku mengalami sedikit saja
kendala.
“Terkadang aku memang berniat menjadikannya
penginapan. Ayo kita kedalam.” Orang berbaju hitam kemarin yang mengantarkan
kami pulang dari rumah Arista muncul dari balik pintu.
“Selamat datang Tuan Jason dan Nona Kinan.” Ia
tersenum lembut. Orang ini jika kugambarkan mirip sekali dengan tokoh
kepercayaan orang-orang tampan dan kaya di novel romantic yang biasa aku baca
di blog. Kadang aku berharap ada yang seperti itu.
Jason hanya mengangguk singkat menarik lenganku, aku
agak terseret karena langkahnya yang besar. Namun perlahan memelan sehingga aku
tidak tersaruk lagi. Interior rumahnya semuanya serba barat namun banyak
lukisan-lukisan khas Jawa , kebanyakan perempuan menggunakan kebaya jawa timur,
aku tahu karena ibu dulu juga pernah pakai.
Kemudian ia membawaku ke sebuah perpustakaan, kulihat
dari banyaknya buku di situ. Dan sebuah grand piano di sudut ruangan. “Kalau
main ke rumahmu Cuma buat dengerin kamu main begituan, aku bakalan ngantuk.”
Ketika kulihat ia duduk di kursi yang sudah disediakan.
“Seperti kau bisa mengantuk saja kalau kau ada di
dekatku?” ia mengedipkan matanya. Yang langsung saja disambut aleh pipiku yang
memerah. Ia memeainkan rangkaian nada-nada itu dengan begitu indah. Aku tahu itu
lagu apa. Itu lagu yang dia nyanyikan untukku beberapa waktu yang lalu. Yang
tadinya aku hanya duduk di salah satu sofa mendekatinya, aku menyentuh
pundaknya. Ia sedkit bergetar tapi aku memantapkan genggamanku, seperti aku
ingin mengalirkan semua kekuatan untuknya. Permainannya tidak berhenti tapi
temponya makin lambat, aku memeluknya, menghirup aromanya, menikmati sensasi
memabukkan yang ditimbulkan.
Kalau saja waktu bisa berhenti. Saat inilah aku ingin
waktu dihentikan. Rasanya nyaman berada di punggungnya. Dan bergelung di relung
lehernya. Aku tidak menyadari kapan ia berhenti bermain piano, tapi dia
tiba-tiba sudah berbalik dan mendekapku di badannya.
“Ya ampun, Kinan sayang.” Ia mengelus rambutku dan
menghirupnya kuat-kuat sampai kemudian melepaskanku. “Beruntung aku punya
pengendalian diri yang kuat, kalau tidak mungkin aku sudah…” ia tidak mampu
menyelesaikan kata-katanya.
“Sudah apa?” aku menarik nafas dalam-dalam, kehabisan
nafas saat ia memelukku.
“Tak usah dipikirkan, ayo kita temui Edward. Apa makan
malam kita hari ini untuk perempuan paling cantik di dunia ini.” Ia menghelaku
ke dalam pelukannya.
Saat kami berjalan di lorong-lorong rumahnya
adabeberapa orang sedang bekerja, entah itu merapikan ruangan, memperbaiki
beberapa benda, dan masih banyak kegiatan di rumah ini. Saat orang yang
dipanggil Edward oleh Jason menjumpai kami sedang berpelukan erat seperti itu,
aku berusaha melepaskannya. Tidak sopan berpelukan di depan orang , tapi Jason
malah mempererat pelukannya seolah tidak peduli.
Hari sudah sore ia mengajakku makan dengan pemandangan matahri terbenam di
antara pegunungan. Indah dan, romantis. Makanannya lumayan meskipun dari daerah
luar tapi aku bisa menerimanya. Ia mengungkapkan cintanya lagi. Seoalah
berusaha meyakinkanku bahwa ia benar-benar mencintaiku.
“Apa tidak ada rasa kasihan?”
“Ada, Nan. Pasti.” Aku terhenyak, kemudian aku
menguasai emosiku kembali. Aku bukan tipikal orang yang patut dikasihani.
“Karena jika tidak ada perasaan kasih, apalah arti
cintaku untukmu?”
Oh oh… Dalam sekali maksdunya. Tanpa sadar aku
meneteskan air mata, hidungku sedikit berair. Wajahnya jadi buram karena
berusaha menahan butiran air agar tidak jatuh. Ia mengusapnya dengan jemari
panjangnya. Kemudian kulihat ia menyesapnya. Menikmatinya.
Ini terlalu pertama untuk jatuh cinta. Dan aku merasa
aku tidak mau jatuh cinta pada orang yang berbeda. Ia mengecup dahiku lama.
Kemudian ia menghela nafas, memejamkan matanya.
Hari sudah mulai malam, aku berusaha mengungkapkan keinginanku
untuk pulang. Tapisebenarnya aku juga malas untuk pulang. “Jason?” aku
menarik-narik kemejanya ketika kami sedang menonton sebuah film di ruang
keluarga.
“Apa?”
“Ibu pasti sudah mencariku. Ayo pulang.”
“Tidak apa-apa. Aku sudah bilang kalau ada kemungkinan
kamu pulang besok.” Ia kemudian mengganti film yang sudah selesai dengan film
yang aku sukai.
“Dan ia mengijinkanmu?” aku menatapnya tak percaya.
“Ya, dengan mudah sekali. Oh iya kamu lihat film dulu
sendirian taka pa kan? Aku ada beberapa urusan dengan seorang tamu dari luar
negeri. Tapi kalau bosan silahkan berjalan-jalan.” Kemudian ia mengecup
keningku dan meninggalkan ruangan itu.
Film tentang sciene fiction. Dua jam lamanya aku
menonton film itu. Lama-lama bosan juga. Langit sudah gelap dan angin yang
berhembus dari jendela yang terbuka juga bebrapa awan mendung yang kelabu
nampak di langit. Sepertinya mau hujan. Aku berjalan ke jendela, aku mau
menutupnya agar angin dingin itu tak
membuat perutku mual.
Kulihat dibawah ada seorang laki-laki mengenakan jas formal warna hitam sedang bercakap dengan
Jason di depan mobil. Seorang wanita bertubuh kecil namun berpakain formal
juga, nampak membuatnya begitu tegas dalam tubuh mungil dan wajah cantiknya
berada di samping laki-laki tinggi besar berambut cokelat di sampingnya. Aku tidak
tahu bagaimana wajahnya karena hanya rambutnya yang terlihat. Lalu Jason
menjabat tangan orang itu dan tersenyum pada perempuan itu.
Kemudian si perempuan membukakan pintu mobil dan
berjalan menuju depan mobil, tapi si laki-laki mencegahnya dan memaksanya duduk
dibelakang. Aku memperhatikan Jason yang tertawa kecil. Ada apa sebenarnya? Lamunanku
terbuyar ketika kulihat Jason sedang mengawasiku dari bawah. Pipiku bersemu
kemudian aku buru-buru menutup jendela dan kembali menenggelamkan diri diantara
tumpukan bantal-bantal di sofa. Pintu terbuka dengan perlahan, kulihat ia masih
nampak segar.
“Lama menunggu ya?” ia duduk di sebelahku.
“Tidak juga. Tadi itu siapa?”
“Hanya seorang teman yang terlalu serius.” Ia tertawa
pelan. “Tidakkah kamu ingin tidur? Ini sudah malam.”
“Ya, aku mau.” Aku menguap lalu menatapnya. Ia duduk
membelakangiku.
“Sini naiklah.” Aku langsung naik saja. Lumayan tidak
usah jalan cepat demi mengimbangi langkahnya. “Beratmu hanya seperti tas
ransel. Padahal makanmu porsinya besar sekali.”
Ia membawaku ke sebuah kamar, mungkin kamar tamu. Tapi
kamarnya anak laki-laki sekali, dengan interior yang tidak terlalu rumit,
banyak rak yang berisi buku-buku dan miniature mobil-mobil sport yang pasti
harganya mahal.
“Aku akan meninggalkanmu untuk istirahat, Tuan Putri.”
Ia membungkukkan badannya dan tersenyum jahil. Aku sempat mencubit lengannya. Kemudian
aku berkeliling kamar, barangkali ada pintu rahasia atau apa. Tapi yang
kutemukan justru kamar mandi di balik lemari pakaian.
Sejak tadi pagi aku belum sikat gigi. Pantas saja ada
yang kurang. Aku membuka kotak yang kelihatannya ada berbagai perlatan mandi. Dan
benar, ada sikat gigi kecil. Aku mengambilnya dan memulai ritual tidurku.
Setelah selesai aku kelaur, memeriksa lemari pakaian
rahasia yang jadi pintu kamar mandi. Ya ampun, ada baju-baju Jason disitu. Mulai
dari seragam SMA dan baju santai dan masih banyak jas formal di sana.
Menilik isi lemari ini kukira ini kamarnya. Lalu ia
tidur dimana? Pikiran itu mulai menghilang seiring rasa kantukku yang semakin
menyerang. Kurebahkan diri, rasa nyaman semakin membuaiku dalam tidur.
Ketika aku terbangun hari masih gelap. Jam 5 pagi. Kulihat
ada sekotak kardus dibungkus rapi di
sudut tempat tidur. Aku membukanya yang ternyata isinya adalah pakain. Itu sebuah
gaun santai warna biru. Cantik sekali.
“Pakailah, kita akan pergi ke air terjun di hutan
belakang rumah. Agak jauh jika ditempuh dengan jalan kaki, tapi jika dengan
mobil mungkin hanya 15 menit. Mandilah yang segar. Kita bertemu di bawah satu
jam lagi.” Aku kaget ketika kulihat Jason sudah ada di depan pintu yang
terbuka.
“Bagaiman kau ada disitu?”
“Ini rumahku. Memangnya kenapa? ini juga kamarku.” Benar
kan. Ia mendekatiku. “Bagaiaman tidurmu?”
“Nyenyak sekali. Kalau dirimu?”
“Aku tidak bisa tidur karena memikirkanmu ada di sini.
Tapi aku tidak bisa melihatmu tidur.”
“Hm.. Apa yang kita lakukan hari ini?”
“Berjalan-jalan, aku kan sudah bilang kita akan ke air
terjun. Sekarang mandilah. Aku akan menyiapkan sarapan.”
“Kamu bisa memasak?”
“Tentu saja.” Dan ia pergi.
“Sudah siap?”
“Tentu saja.” Gaunnya sangat pas di tubuhku. Ia memberiku
topi yang lebar. “Sayang, aku tidak bawa kamera.”
“Tenang saja. Ayo kita berangkat.”
Air terjunnya sangat indah, namun di sini sepi sekali.
Hanya ada beberapa orang. Dan kami berdua. Kulihat Jason mengeluarkan kamera
yang selama ini tidak mungkin kalau kebeli dengan uangku sendiri.
“Kamera yang bagus. Boleh aku mencobanya?”
“Ya , tentu saja.” Aku mengambilnya dengan hati-hati
takut merusaknya. Aku langsung mengarahkan kea rah air terjun itu. Tanpa sadar
aku sudah menghabiskan separuh memorinya.
“Bagaimana menurutmu?” aku memperlihatkan hasilnya
pada Jason.
“Bagus, hanya ada yang kurang.”
“Apa?” aku mengernyit.
“Kamu. Berdirilah di sana.”
“Dimana?”
“Di batu besar itu. Ya disitu.” Oh-oh dia menjadikanku
modelnya.
“Tunggu dulu, aku bukan model yang bagus kalau difoto.”
“Sudahlah diam saja. Alihkan wajahmu ke air terjun. Berpura-pura
saja aku tidak disini sedang mencoba merayumu.” aku cemberut, namun tetap saja
kuturuti perkataannya.
Ia memberiku beberapa instruksi lagi. Kemudian Jason
memanggil Pak Edward lagi. Ia memberikan instruksi kemudian menyerahkan
kameranya kepada Pak Edward.
Jason berlari kecil menghampiriku. Ia memelukku dan
ternyata Pak Edward sedang mengambil gambar kami yang sedang berpelukan. Tentu saja
pipiku merah karena malu. “Tidak usah malu, sayang. Edward kan bukan orang
asing.” Agak lama kemudian Pak Edward memberikan kameranya lagi pada kami. Aku melihat
hasil foto-foto kami tadi. Karena mungkin kameranya bagus dan banyak objek
menarik disini, gambarnya banyak yang bagus. Dan kemudian ada banyak fotoku
dengannya yang di luar dugaan sangat hidup. Entah kenapa aku merasa pertama
kali dalam hidupku bahagia dan manis.
Jason sungguh luar biasa, ia berhasil mengubah hidupku
180 derajat. Dari yang tidak tahu bagaimana mencintai menjadi tahu. Dari aku
yang datar menjadi bergelombang. Menyenangkan sekali mengetahui ia ada disisiku
selalu. Dan kalu suatu hari ada perpisahan aku ingin waktu membekukanku, aku
tidak mau menjalani waktu yang menyakitkan tanpanya.
No comments:
Post a Comment