Minggu pagi itu, aku bangun lalu
sholat subuh. Setelah itu aku mandi, airnya lumayan dingin. Hari ini ada
latihan rutin PA seperti biasa. Kukenakan celana training merah bekas SMP dulu
lengakp dengan kaos hitam bergambar Bung Karno, tak lupa sandal gunung terselip
rapi di kakiku juga tas ransel using tergantung di pundakku.
Kukeluarkan sepeda anginku, kukayuh menuju SMAN 3
Mojokerto. Jaraknya lumayan dekat dari rumah, hanya 7 menit lama perjalanan.
Udara di kota masih segar, karena belum banyak kendaraan yang berlalu lalang.
Kota ini masih sepi.
Beberapa menit kemudian aku sampai disekolah. Sampai disana
belum ada siapa-siapa. Hanya ada beberapa anak Futsal. Aku menunggu. Tapi
anak-anak belum pada datang. Akhirnya aku putuskan keliling Jogging Track. Dua
kali aku mengelilinginya. Sampai akhirnya ada juga anak yang datang latihan.
Hari ini latihan kami adalah membuat kompos. Karena kompos
di sekolah sudah terurus. Kami sebagai Pecinta Alam yang harus mengelola kompos
ini. Sadar kalau kompos ini jadi tanggung jawab kami.
Beberapa saat kemudian Mas Akbar dan beberapa orang lain
temanku datang. Lalu mulailah kami mengolah kompos di sebelah pos satpam itu.
Awalnya kami pisahkan sampah-sampah organik dengan non organik. Lalu kami
remukan sampah-sampah organik itu. Setelah semua dilakukan, kami letakkan ke
dalam bak semen yang tertutup.
Tiba-tiba saja ada seorang lelaki berjaket biru, bercelana
hitam. Dan memakai syal kotak-kotak kecil warna hitam putih putih ala seorang
kyai. Karena kami tidak mengenalnya kami diamkan dia. Lalu kami lanjutkan apa
yang sedang kami kerjakan.
Lalu Mbak Gobez datang dan menyalami orang itu. Kami semua
heran. Lalu Efa berkata bahwa dia pernah melihat pria itu waktu latihan wall
climbing di TBI. Katanya Pitria dia Mas Horizon. Senior lama PA. setelah itu
kami juga ikut menyalami Mas Horizon itu.
Tak lama kemudian Mas Horizon, atau kita panggil saja Om
Horiz(karena sudah diatas 30 th) menyuruh kami berkumpul, duduk membentuk
lingkaran seperti biasanya. Lalu dia mulai memperkenalkan dirinya. Dia mengaku
sebagai “Tarzan Udik” di Facebook.
Tepat saat itu, tiba-tiba saja Pembina kami, Mas Qitux
datang dengan istrinya. Akhirnya kami semua berkumpul. Lalu tiba-tiba saja Om
Horiz mengajak kami pergi ke Gua Sigolo-golo yang ada di Jombang. Lalu aku menelepon Ibuku
untuk minta izin. Setelah itu aku di izinkan. Sepeda anginku aku titipkan di
warung tempat anak-anak PA Bhawana Jaya selalu nongkrong.
Lalu berangkatlah kami menuju Gua Sigolo-golo. Kami kesana
naik sepeda motor. Perjalanannya tidak terlalu jauh. Jadi aku tidak terlalu
ngantuk di jalan.
Lalu sampailah kami di lokasi. Udara yang sangat sejuk
menyambut kami. Beda sekali dengan suasana di kota. Kami membayar 5000 rupiah
untuk parkir. Setelah itu kami berjalan, Om Horiz menawari kami untuk caving
apa ke sungai dibawah. Kami semua memilih untuk ke sungai dahulu sebelum
caving.
Lalu kami menuruni jalan yang lumayan licin, tapi ada semacam
bambu yang berfungsi sebagai pijakan kami. Karena hari itu Minggu pengunjung
cukup banyak. Kami kadang harus berhenti untuk membiarkan yang lain lewat.
Banyak muda-mudi yang berkencan di sini.
Akhirnya kami sampai di sungai. Airnya jernih dan deras.
Kucoba mencelupkan tanganku ke air itu. Dan wah. Segar sekali airnya. Aku
semakin tergoda untuk menceburkan diriku ke dalam sungai, tapi aku ingat tidak
membawa pakain ganti satupun. Akhirnya ku hanya menceburkan sebagian diriku ke
dalam sungai.
Saat keceburkan kakiku. Serasa ada sensasi berbeda.
Derasnya arus menerpa kakiku. Air dingin nan jernih seolah membelai mata ini.
Udara yang sejuk, ditambah dengan
pemandangan alam yang indah. Juga suara burung-burung hutan yang masih
terdengar bersahutan.
Dasar sungai yang licin berbatu membuatku harus ekstra
hati-hati agar tidak terseret arus. Lalu disana kami mulai berfoto. Dan bermain
air. Anak-anak mengerjaiku, karena aku ada ditengah sungai dan mereka di
pinggir, aku diciprati air oleh mereka. Aku tidak bisa menghindar, karena
setiap gerakan harus kuperhatikan agar tidak membuatku terseret arus sungai.
Pak Ketua juga tak kalah jahilnya. Dia juga menciprati ku.
Lalu kulihat Om Horiz mengambil lumut yang ada di batu di
dasar sungai, lalu secara mengejutkan dia memakannya. Aku terpana. Orang ini
aneh sekali. Pikirku dalam hati. Alu dia menawariku memakan lumut juga. Awalnya
aku menolak. Tapi setelah Pak Ketua memakannya, aku jadi tertantang untuk
mencicipi lumut itu.
Ragu-ragu ku ambil lumutnya. Lalu kubersihkan dari kotoran
yang menempel dengan cara mencelupkannya ke air yang berarus deras. Lama aku
pandangi lumut it. Menelan ludah lalu perlahan aku menutup mata dan tak sadar
menahan nafas. Lalu sampailah lumut itu kedalam mulutku, kukunyah dan coba
mencari rasanya. Dan rasanya hampir seperti bayam tapi hambar. Dan aku
menelannya. Itulah pertama kalinya aku makan lumut. Aku juga mencicipi air
sungai itu.
Setelah puas berfoto dan bermain, kami lanjutkan Caving
kami. Kami naik ke atas. Berjalan menuju Gua. Jalan yang agak naik cukup
membuat Om Horiz yang sudah jarang naik gunung agak kelelahan. Karena aku yang
membawa air minum, jadi aku berjalan pelan dibelakang bersama Om Horiz dan Mbak
Gobez. Sepanjang jalan Om Horiz mengeluarkan suara seperti monyet , dan itu dia
sengaja. Banyak yang melihat ke arah kami karena sensai yang dibuat Om Horiz.
Ada-ada saja.
Lalu sampailah kami di tebing vertikal yang ditumbuhi
akar-akar pohon yang lumayan kuat. Entah untuk menahan beban berapa kilogram ,
aku tidak tahu. Sebelum itu kami berfoto di sebuah pohon besar.
Lalu kami memanjat akar dan pohon yang merambati dinding
vertikal itu satu persatu. Tidak ada alat pengaman ataupun alat bantu lainnya.
Yang menjadi alat bantu adalah keyakinan kami dan kemauan kami sendiri. Lalu
aku berdoa dalam hati agar kami semua diberi keselamatan.
Aku harus mencari pijakan yang pas agar tidak tergelincir.
Tanganku mencengkeram kuat akar-akar pohon itu, ada juga sedikit bebatuan yang
bisa aku gunakan untuk berpegangan. Tiba-tiba saja ditengah-tengah
perjalananku, aku dikejutkan kehadiran seekor lintah pas di depan mukaku.
Sebenarnya kau mau berteriak, tapi kutahan teriakanku. Aku takut teman-teman
perempuanku dibawah tidak mau naik. Jadi aku diam saja dan terus memanjat.
Akhirnya sampailah aku di atas.
Ternyata bentuk Gua Sigolo-golo tak seperti gua-gua lain.
Bentuknya sepeti cekungan, di dalamnya ada air yang tertampung dalam sebuah
cekungan kecil. “Kalau kalian minum air dari cekungan Gua Sigolo-golo Insya
Allah cepat dapet pacar, kalau gak gitu ya cepat pintar.hahah” kata Om Horiz.
Percaya tidak percaya aku minum air itu. Karena haus dan penasaran juga.
Setelah berfoto-foto dan istirahat sejenak. Kami lalu naik
keatas untuk pulang. Jalan keatas hamper
sama seperti saat naik ke Sigolo-golo. Hanya saja tingkat kesulitannya lebih
tinngi. Lantaran medannya tidak berbatu melainkan tanah gembur. Kadang yang
diatas harus berteriak jika ada batu atau tanah yang jatuh kebawah.
Aku berpegangan pada sisi dinding yang berbatu. Tanpa ada
alat pengaman. Tasku tersangkut di dahan pohon yang ada diatasku. Akhirnya Mas
Akbar menyuruhku melepaskan tasku. Setelah kulepaskan kutitpkan tasku ke Mas
Akbar dan aku lalu mulai memanjat kembali. Akhirnya sampailah aku diantara
cepitan batu, untungnya badanku tidak gemuk. Sehingga cukup untukku bisa lewat.
Lalu di atas ada Mbak Gobez dan Mas Agung yang menarikku
dari atas. Setelah sampai diatas kami disambut Mas Qitux yang sudah siap dengan
es tehnya. Dan Mas Somat yang berjanji akan mentraktir kami sepulang dari sini.
Setelah kami semua sampai diatas kami memutuskan untuk
langsung pulang, karena Mas Somat akan mentraktir kami Bakso dan Es. Setelah
mengambil sepeda motor kami langsung pergi. Awalnya kami ingin mencari warung
yang dekat saja, namun tutup. Atau kalau tidak begitu baksonya habis. Terpaksa
kami mencari makan di kota. Setelah makan kami ditraktir Durian di dekat SMA
Islam Brawijaya. Wah kenyang sudah perutku ini.
Lalu dari situ kami berpencar. Pulang kerumah
masing-masing. Berhubung aku, Mas Somat, Mas Qitux, Mas Akbar, Mbak Nanda, Mbak
Denok, Mas Faris, dan Mas Agung pulangnya searah, kami masih ditraktir durian
lagi di pasar. Wuih,,, Istimewa sekali saat itu. Lalu kami pulang, Mas Somat
lalu mengantarku ke warung tempatku menitipkan sepeda. Lalu aku pulang dengan
senang. Walaupun pulang sangat sore. Tapi tak apalah.
Karena hari ini banyak kenangan berharaga buatku. Dan
pengalaman “survival” makan lumut dari
sungai.
No comments:
Post a Comment