Bab 8
Tak terasa waktu liburan sudah berlalu. Aneh
rasanya di kelas tanpa Jason yang selalu memandangiku. Walaupun setiap ada
waktu kami selalu hanya berdua. Rasanya aku konyol sekali. Tidak ada hal yang
kupikirkan selain Jason.
Kesibukanku tidak banyak kecuali belajar.
Karena di perempatan tahun depan kami akan menghadapi ujian Negara. Yang tentu
saja selalu dipandang sebagai momok bagi setiap siswa. Tak terkecuali diriku
tentu saja. Makanya aku selalu belajar lebih keras akhir-akhir ini. Aku tidak
mau terjebak sistem kebut semalam. Mencicil mulai dari sekarang tidak terlalu
berat. Apalagi aku punya seorang guru yang jenius dan luar biasa menawan,
Jason.
Setiap hari ia selalu mengajariku
pelajaran-pelajaran susah itu. Dan dengan sabarnya ia menerangkan bagian yang
aku tidak mengerti. Meskipun kadang aku menyerah dan jengkel hingga memutuskan
tidak mau lagi belajar. Pada saat seperti itu, ia terus membujukku. Membuatku
kembali belajar. Aku ragu, jika bukan Jason. Tak ada orang yang akan lebih
sabar lagi.
Seperti kemarin, saat ia menerangkan integral
kepadaku. Aku benar-benar tidak mengerti. “Bisakah kita belajar yang lain
saja?” aku menatapnya, berusaha menunjukkan wajah memelas.
“Tidak bisa, Nan. Ini yang harus kamu kuasai
dulu. Baru bisa belajar yang lain.”
“Ah, gelap.” Aku merengut kemudian berdiri
dan menghenatkkan kakiku sambil berjalan ke dapur. Aku membuka lemari es dan
mendapati es kopi ada di sebuah mug keramik besar menggiurkan ada di tengah
lemari es. Aku langsung menenggaknya. Rasanya segar di siang hari seperti ini.
“Aku yakin, minuman itu akan membuatmu
kembali berkonsentrasi lagi.” Jason sudah ada di dekat pintu, ia bersandar di
tembok dengan santai. Rambutnya berantakan seperti biasa.
“Ya, tapi bisakah tidak belajar integral?”
“Tidak.” Ia maju, menghampiriku.
“Mau?” aku menyerahkan gelas itu kepadanya.
Ia mengambilnya dan menenggaknya. Kemudian dalam beberapa detik es kopinya
sudah tandas.
“Tentu saja, ini segar sekali.” Ia meletakkan
mug itu di meja dapur. Kemudian meraihku ke dalam pelukannya. “Ayo kita belajar
lagi, atau..” ia menundukan wajahnya semakin dekat dengan wajahku.
“Atau apa?” Jason semakin mendekat, nafasnya
bisa kurasakan menerpa wajahku.
“Aku bisa menciummu.” Ia tersenyum.
“Bagaimana?” aku berusaha menarik diriku menjauh. Ya ampun, otakku sudah mau
beku saja. Aku harus bertindak sebelum aku benar-benar lumpuh dalam pesona
malaikatnya.
“Kita kembali saja.” Nafasku terengah.
Kemudian ia mencium pipiku dan meninggalkanku di dapur sendirian. Masih pusing
dengan pelukannya. Pikiranku kembali berkumpul, aku kembali ke ruang tamu. Ia
ada di sana. Membaca buku paket matematikaku.
Aku duduk di berhadapan dengannya. “Aku bisa.
Silahkan lanjutkan materi sialan itu.”
Ia kembali menerangkan pelajaran dari awal.
Ia perlu mengulanginya 3 kali baru aku mengerti. Dan aku tidak menangkap
tanda-tanda kebosanan pada diri Jason. Ia malah terlihat bersemangat.
Hari ini Jason tidak masuk. Ia juga tidak
menghubungiku 2 hari belakangan ini. Seperti ia menghilang di telan bumi. Tidak
terbersit di pikiranku bahwa ada yang aneh. Hingga suatu sore ketika aku baru
pulang sekolah. Ia menjemputku. Tapi kali ini bukan pakaian santai seperti
biasanya. Melainkan pakaian formal. Dengan dasi warna merah.
“Kau tampak tua.” Aku bergurau.
“Sedangkan kau tampak seperti tante-tante.”
Ia tersenyum lembut. Ada yang berbeda. Tatapannya penuh kepedihan dan seperti
kesakitan.
“Ada apa sebenarnya, Jason?” aku mengelus
pipinya. Ia membimbingku menuju mobilnya.
“Kita bicara di taman saja.”
Ketika sampai di taman aku langsung duduk di
bangku kami. Sudah berapa lama aku tidak kemari? Ia mengikutiku dan duduk
disampingku. Ada yang tidak beres. Tapi apa? Apa yang coba Jason ungkapkan?
“Nan…”
“Ya?”
“Mungkin aku akan meninggalkanmu.”
“Kemana? Kau mau keluar kota atau mengunjungi
keluargamu?” aku menatapnya.
“Semacam itu. Hanya saja mungkin aku akan
pergi ke Belanda.” Ia memejamkan matanya menghirup udara seolah tidak ada
oksigen di sekitarnya.
“Untuk berapa lama?” aku mulai khawatir.
Hatiku mulai berteriak-teriak kesakitan.
“Entahlah. Terlalu lama untuk ditunggu.”
“Tapi aku mau menunggu selama apapun.”
Baiklah. Suaraku mulai serak sekarang.
“Tidak, aku piker kamu harus melupakanku.”
“Tidak bisa, Jason.”
“Nan, kemungkinan aku kembali ke sini sangat
kecil. Aku tidak tahan membayangkanmu menungguku dengan kau yang masih
mencintaiku. Dan tidak mungkin membawamu.” Ya dia benar, tidak mungkin ia
membawaku bersamanya karena ada hal yang mengikatku tetap di sini. Ibuku.
“Mungkin akan lebih meringankan hatiku jika kamu berbahagia bersama orang
lain..”
“Katakan..”
“Apa?”
“Apakah kamu tidak mencintaiku lagi?”
sekarang aku mulai mengeluarkan air mata sialan ini.
“Tidak. Selamanya aku akan tetap mencintai
kamu.”
“Lalu kenapa? kenapa aku tidak boleh
menunggumu?” aku setengah berteriak. Sekarang aku tidak tahu seperti apa
wajahku.
“Karena, menunggu itu menyakitkan. Aku tidak
mau membuatmu kesakitan ketika menungguku yang tidak pasti.” Ia kemudian
meraihku ke dalam pelukannya. Tubuhnya bergetar. Ia mengecupi ubun-ubunku
berkali-kali.
“Kau boleh melarangku menunggumu. Aku bisa
melakukannya. Tapi jangan pernah menyuruhku melupakanmu dan menyuruhku jatuh
cinta pada orang lain. Tidak akan Jason. Jika kau berpikir itu mungkin. Artinya
kau.. Idiot.”
Ia memegangi kedua pipiku, pandangannya agak
ragu. Kemudian bibirnya menekan lembut bibirku. Ciuman ini penuh cinta
sekaligus mengiris hati. Aku tahu karena ini ciuman perpisahan kami. Tapi aku
yakin ini bukan yang terakhir. Masih ada pertemuan kembali. Itu ada dan nyata.
Aku meyakininya.
Beberapa bulan berlalu sejak kepergian Jason.
Dan Ujian Negara semakin dekat. Aku menyibukkan diri dengan belajar dan
belajar. Aku tidak pernah pergi ke tanah lapang di belakang rumah, ke gedung
sekolah lama, dan tentu saja taman ketika kami pertama kali bertemu. Semua
tempat itu mengingatkanku padanya yang justru membuka lubang di dalam hati.
Ia menyuruhku mengirim email setiap hari.
Tapi nyatanya walaupun aku mengiyakan. Aku tidak pernah menulisnya. Aku bahkan
tidak membuka emailku sama sekali. Membayangkannya sudah menyakitkan.
Hidupku berlanjut seperti biasa. Hanya saja
ketambahan suatu kekosongan yang hampa. Aku ham[ir seperti mayat hidup saja.
Ibu bahkan tak mam[u menghiburku. Makanku menjadi lebih sedikit. Membuat berat
badanku merosot. Wajahku tampak lebih tirus. Yang aku lakukan di saat senggang
hanya melamun. Mencoba mengingat wajahnya, aromanya, suaranya..
Pernah suatu hari aku mencoba membuka
emailku. Tapi baru log in saja aku sudah hamper menangis. Apa ini rindu? Atau
ini kesakitan yang Jason katakana? Aku tidak tahu. Yang pasti aku tidak pernah
mencoba membuka email lagi. Aku takut, jika suatu hari ia mengirimkan kabar
bahwa ia mencintai orang lain. Aku sangat takut.
Hamper setahun ini aku tak banyak
berkomunikasi dengan teman-teman. Hanya bicara seperlunya saja. Mereka mulanya
agak khawatir denganku. Yang membuatku merasa bersalah, karena aku seharusnya
tidak perlu dikhawatirkan atau dikasihani. Tapi lama-lama tatapan mereka yang
cemas berubah normal. Dan aku mensyukurinya.
Seminggu lagi ujian dilaksanakan. Ibu
memberiku banyak nasehat dan tips saat menghadapi ujian dulu. Aku setengah
mendengarkan dan memperhatikan. Aku terlalu memperhatikan hatiku yang kosong.
“Nan, berhentilah bersikap seoalah kau mayat
hidup!” Ibu mulai marah sekarang.
“Aku baik-bauk saja, Bu. Sungguh.”
“Melamun, melakukan segalanya dengan tatapan
kosong. Apa kamu piikir kamu punya jiwa? Kamu mebuat ibu gila. Ibu punya anak
yang kehilangan jiwanya. Entah jiwamu hilang kemana?!”
“Maafkan, Nan.”
“Cobalah hubugni dia, Nan. Dia tidak
mencampakanmu bukan?”
“Tidak, hanya saja. Mengingatnya mebuatku
sedih dan kesakitan, Bu. Tolong jangan suruh aku menghubunginya.” Aku mulai
menangis.
Ibu hanya menggelengkan kepala. Lalu dengan
lembut ia menarikku ke pelukannya. “Nan, Ibu tahu ayahmu meninggalkan kita
dengan cara yang paling jahat. Tapi Jason bukan ayahmu. Ibu yakin ia orang yang
baik.”
“Ibu, semua laki-laki sama. Aku takut ibu.
Aku bahkan tidak berani berpikir tentang ayah. Aku takut Jason melakukan hal
yang sama padaku. Aku takut Jason akan seperti ayah.”
Ibu menatapku dengan pedih. Inilah mengapa
aku tidak mau memikirkan ayahku. Aku bahkan hamper berhasil menghapus ingatanku
tentangnya. 7 tahun yang lalu. Ketika itu malam hari dan badai sedang menerpa.
Aku terbangun oleh suara petir. Aku tidak takut sebenarnya, tapi entah kenapa
aku ingin tidur dengan Ris dan Hans. Jadi aku pindah kamar. Ketika itulah aku
mendengar percakapan ibu dengan ayah.
“Aku harus pergi, Mara.”
“Tapi..” ibu mulai terisak-isak dipelukan
ayah.
“Mungkin akan lama. Kemungkinan aku kemabli
akan sangat kecil. Tapi aku ingin kamu menungguku.”
Setelah itu dari belakng Hans menutup
telingaku lalu menggendengku ke kamrnya. Disana sudah ada Ris.
“Hans, apa ayah dan ibu akan berpisah?”
“Tidak tahu sayang. Kami tidak tahu.” Tapi
jawaban Hans justru membuatku mengerti bahwa ayah akan pergi meninggalkan kami.
Malam itu kami bertiga berpelukan dan menangis. Hingga akhirnya kami jatuh
tertidur. Dan pagi harinya kami sudah tak mendapati ayah dirumah. Tapi kami
memdapati ibu yang menagis tersiksa. Sejak itu aku membenci ayah.
Setahun kemudian kami mendapat kabar yang
lebih buruk. Ayah menikah dengan seorang wanita lain dan sudah mempunyai anak
perempuan. Ibu sekali lagi jatuh ke dalam lembah kesedihan. Begitupun kami
bertiga.
Sejak saat itu, aku sudah menganggap aku
lahir tanpa ayah. Aku mencoba melupakannya tidak memikirkannya lagi. Bahkan aku
berusaha agar kejadian ini tidak akan pernah aku ingat lagi. Selama ini
berhasil sampai Jason datang. Aku ketakutan sekaligus jatuh cinta padanya.
Hingga saat yang kutakutkan tiba.
“Bu..”
“Percayalah Jason orang yang baik. Dan bila
ia jodohmu, Nan. Bila ia belahan jiwamu. Ibu yakin Tuhan akan mempertemukan
kalian lagi.”
“Dan maafkan ayahmu. Karena ibu sudah
memaafkannya.”
Sejak
kejadian malam itu. Aku sedikit banyak mulai bisa tersenyum. Walaupun hati ini
masih berdenyut kesakitan. Tapi aku belum mampu memaafkan ayah. Dan disinilah
aku sedang menjalani ujian. Semua soalnya sesuai dengan prediksi. Mudah-mudah
sekali. Hingga aku lulus.
Ujian masuk universitas sudah selesai. Hari
ini pengumuman. Aku bersyukur karena diterima di fakultas sastra inggris di
salah satu universitas favorit. Walaupun bukan ilmu komunikasi tapi setidaknya
aku bisa kuliah.
Dan sekarang waktunya untuk menyembuhkan
diri. Aku tidak akan berhenti mencintai Jason. Tidak pernah. Tapi aku akan
mencoba menghadapi dunia ini tanpanya. Entah sampai kapan aku berani
menghubunginya. Emailku mungkin sudah diblokir. Aku membuat email baru dan
memulai hidup baru masih dengan cinta yang lama dan selamanya.
Dan soal ayah. Mungkin aku ingin belajar
memaafkannya. Walaupun ia yak pernah meminta maaf dan menelantarkan kami begitu
saja.
Aku kuliah dan sampinganku adalah menjadi
jurnalis lepas di sebuah Koran swasta. Aku memotret dan menulis artikel. Aku
tidak menghubungi pemilik galeri foto lagi. Aku bekerja dan belajar setiap
hari. Dan aku menemukan dunia baru selain fotografi. Dunia menulis.
Aku bekerja dengan sepenuh hati dan aku
belajar di siang hari dengan semangat. Hingga bosku menjanjikan bahwa
perusahannya adalah tempat pertama aku harus melamar pekerjaan setelah lulus
kuliah.
Hari
ini hari wisudaku. Ibu dan kedua kakakku datang. Setelah menyelesaikan skripsi
dan lolos sidang. Akhirnya aku lulus dengan nilai sempurna. Ibu sangat bangga
tentu saja. Ia bisa melihat anaknya tetap tegar.
Pulang acara aku mengajak mereka makan malam
di restoran jepang.
“Tenang, kak. Aku yang traktir.”
“Yang sudah lulus langsung kerja. Ciyee..”
Kami penuh tawa malam itu. Kami berkumpul
layaknya keluarga normal biasa. Ris sudah menikah, sekarang ia hamil 4 bulan.
Suaminya tidak bisa ikut. Sedangkan Hans, istrinya dan keponakanku yang baru
menginjak SD tahun depan tidak bisa hadir. Jadi hanya kami berempat. Padahal lebih
seru kalau banyak orang.
“Setelah ini kamu masih kerja di Koran itu,
Nan?” tanya Ris.
“Ya. Mereka sudah jatuh cinta pada setiap
artikelku. Lagipula ini menyenangkan, Ris.”
“Setidaknya jangan bilang “I hate Monday”.” Kami
tertawa bersama. Dalam tawaku aku masih sempat berpikir tentangnya. Bagaimana ia
sekarang?
No comments:
Post a Comment