Monday, July 22, 2013

CAPTURE HEART 8



Bab 8

Tak terasa waktu liburan sudah berlalu. Aneh rasanya di kelas tanpa Jason yang selalu memandangiku. Walaupun setiap ada waktu kami selalu hanya berdua. Rasanya aku konyol sekali. Tidak ada hal yang kupikirkan selain Jason.
Kesibukanku tidak banyak kecuali belajar. Karena di perempatan tahun depan kami akan menghadapi ujian Negara. Yang tentu saja selalu dipandang sebagai momok bagi setiap siswa. Tak terkecuali diriku tentu saja. Makanya aku selalu belajar lebih keras akhir-akhir ini. Aku tidak mau terjebak sistem kebut semalam. Mencicil mulai dari sekarang tidak terlalu berat. Apalagi aku punya seorang guru yang jenius dan luar biasa menawan, Jason.
Setiap hari ia selalu mengajariku pelajaran-pelajaran susah itu. Dan dengan sabarnya ia menerangkan bagian yang aku tidak mengerti. Meskipun kadang aku menyerah dan jengkel hingga memutuskan tidak mau lagi belajar. Pada saat seperti itu, ia terus membujukku. Membuatku kembali belajar. Aku ragu, jika bukan Jason. Tak ada orang yang akan lebih sabar lagi.
Seperti kemarin, saat ia menerangkan integral kepadaku. Aku benar-benar tidak mengerti. “Bisakah kita belajar yang lain saja?” aku menatapnya, berusaha menunjukkan wajah memelas.
“Tidak bisa, Nan. Ini yang harus kamu kuasai dulu. Baru bisa belajar yang lain.”
“Ah, gelap.” Aku merengut kemudian berdiri dan menghenatkkan kakiku sambil berjalan ke dapur. Aku membuka lemari es dan mendapati es kopi ada di sebuah mug keramik besar menggiurkan ada di tengah lemari es. Aku langsung menenggaknya. Rasanya segar di siang hari seperti ini.
“Aku yakin, minuman itu akan membuatmu kembali berkonsentrasi lagi.” Jason sudah ada di dekat pintu, ia bersandar di tembok dengan santai. Rambutnya berantakan seperti biasa.
“Ya, tapi bisakah tidak belajar integral?”
“Tidak.” Ia maju, menghampiriku.
“Mau?” aku menyerahkan gelas itu kepadanya. Ia mengambilnya dan menenggaknya. Kemudian dalam beberapa detik es kopinya sudah tandas.
“Tentu saja, ini segar sekali.” Ia meletakkan mug itu di meja dapur. Kemudian meraihku ke dalam pelukannya. “Ayo kita belajar lagi, atau..” ia menundukan wajahnya semakin dekat dengan wajahku.
“Atau apa?” Jason semakin mendekat, nafasnya bisa kurasakan menerpa wajahku.
“Aku bisa menciummu.” Ia tersenyum. “Bagaimana?” aku berusaha menarik diriku menjauh. Ya ampun, otakku sudah mau beku saja. Aku harus bertindak sebelum aku benar-benar lumpuh dalam pesona malaikatnya.
“Kita kembali saja.” Nafasku terengah. Kemudian ia mencium pipiku dan meninggalkanku di dapur sendirian. Masih pusing dengan pelukannya. Pikiranku kembali berkumpul, aku kembali ke ruang tamu. Ia ada di sana. Membaca buku paket matematikaku.
Aku duduk di berhadapan dengannya. “Aku bisa. Silahkan lanjutkan materi sialan itu.”
Ia kembali menerangkan pelajaran dari awal. Ia perlu mengulanginya 3 kali baru aku mengerti. Dan aku tidak menangkap tanda-tanda kebosanan pada diri Jason. Ia malah terlihat bersemangat.

Hari ini Jason tidak masuk. Ia juga tidak menghubungiku 2 hari belakangan ini. Seperti ia menghilang di telan bumi. Tidak terbersit di pikiranku bahwa ada yang aneh. Hingga suatu sore ketika aku baru pulang sekolah. Ia menjemputku. Tapi kali ini bukan pakaian santai seperti biasanya. Melainkan pakaian formal. Dengan dasi warna merah.
“Kau tampak tua.” Aku bergurau.
“Sedangkan kau tampak seperti tante-tante.” Ia tersenyum lembut. Ada yang berbeda. Tatapannya penuh kepedihan dan seperti kesakitan.
“Ada apa sebenarnya, Jason?” aku mengelus pipinya. Ia membimbingku menuju mobilnya.
“Kita bicara di taman saja.”
Ketika sampai di taman aku langsung duduk di bangku kami. Sudah berapa lama aku tidak kemari? Ia mengikutiku dan duduk disampingku. Ada yang tidak beres. Tapi apa? Apa yang coba Jason ungkapkan?
“Nan…”
“Ya?”
“Mungkin aku akan meninggalkanmu.”
“Kemana? Kau mau keluar kota atau mengunjungi keluargamu?” aku menatapnya.
“Semacam itu. Hanya saja mungkin aku akan pergi ke Belanda.” Ia memejamkan matanya menghirup udara seolah tidak ada oksigen di sekitarnya.
“Untuk berapa lama?” aku mulai khawatir. Hatiku mulai berteriak-teriak kesakitan.
“Entahlah. Terlalu lama untuk ditunggu.”
“Tapi aku mau menunggu selama apapun.” Baiklah. Suaraku mulai serak sekarang.
“Tidak, aku piker kamu harus melupakanku.”
“Tidak bisa, Jason.”
“Nan, kemungkinan aku kembali ke sini sangat kecil. Aku tidak tahan membayangkanmu menungguku dengan kau yang masih mencintaiku. Dan tidak mungkin membawamu.” Ya dia benar, tidak mungkin ia membawaku bersamanya karena ada hal yang mengikatku tetap di sini. Ibuku. “Mungkin akan lebih meringankan hatiku jika kamu berbahagia bersama orang lain..”
“Katakan..”
“Apa?”
“Apakah kamu tidak mencintaiku lagi?” sekarang aku mulai mengeluarkan air mata sialan ini.
“Tidak. Selamanya aku akan tetap mencintai kamu.”
“Lalu kenapa? kenapa aku tidak boleh menunggumu?” aku setengah berteriak. Sekarang aku tidak tahu seperti apa wajahku.
“Karena, menunggu itu menyakitkan. Aku tidak mau membuatmu kesakitan ketika menungguku yang tidak pasti.” Ia kemudian meraihku ke dalam pelukannya. Tubuhnya bergetar. Ia mengecupi ubun-ubunku berkali-kali.
“Kau boleh melarangku menunggumu. Aku bisa melakukannya. Tapi jangan pernah menyuruhku melupakanmu dan menyuruhku jatuh cinta pada orang lain. Tidak akan Jason. Jika kau berpikir itu mungkin. Artinya kau.. Idiot.”
Ia memegangi kedua pipiku, pandangannya agak ragu. Kemudian bibirnya menekan lembut bibirku. Ciuman ini penuh cinta sekaligus mengiris hati. Aku tahu karena ini ciuman perpisahan kami. Tapi aku yakin ini bukan yang terakhir. Masih ada pertemuan kembali. Itu ada dan nyata. Aku meyakininya.


Beberapa bulan berlalu sejak kepergian Jason. Dan Ujian Negara semakin dekat. Aku menyibukkan diri dengan belajar dan belajar. Aku tidak pernah pergi ke tanah lapang di belakang rumah, ke gedung sekolah lama, dan tentu saja taman ketika kami pertama kali bertemu. Semua tempat itu mengingatkanku padanya yang justru membuka lubang di dalam hati.
Ia menyuruhku mengirim email setiap hari. Tapi nyatanya walaupun aku mengiyakan. Aku tidak pernah menulisnya. Aku bahkan tidak membuka emailku sama sekali. Membayangkannya sudah menyakitkan.
Hidupku berlanjut seperti biasa. Hanya saja ketambahan suatu kekosongan yang hampa. Aku ham[ir seperti mayat hidup saja. Ibu bahkan tak mam[u menghiburku. Makanku menjadi lebih sedikit. Membuat berat badanku merosot. Wajahku tampak lebih tirus. Yang aku lakukan di saat senggang hanya melamun. Mencoba mengingat wajahnya, aromanya, suaranya..
Pernah suatu hari aku mencoba membuka emailku. Tapi baru log in saja aku sudah hamper menangis. Apa ini rindu? Atau ini kesakitan yang Jason katakana? Aku tidak tahu. Yang pasti aku tidak pernah mencoba membuka email lagi. Aku takut, jika suatu hari ia mengirimkan kabar bahwa ia mencintai orang lain. Aku sangat takut.
Hamper setahun ini aku tak banyak berkomunikasi dengan teman-teman. Hanya bicara seperlunya saja. Mereka mulanya agak khawatir denganku. Yang membuatku merasa bersalah, karena aku seharusnya tidak perlu dikhawatirkan atau dikasihani. Tapi lama-lama tatapan mereka yang cemas berubah normal. Dan aku mensyukurinya.
Seminggu lagi ujian dilaksanakan. Ibu memberiku banyak nasehat dan tips saat menghadapi ujian dulu. Aku setengah mendengarkan dan memperhatikan. Aku terlalu memperhatikan hatiku yang kosong.
“Nan, berhentilah bersikap seoalah kau mayat hidup!” Ibu mulai marah sekarang.
“Aku baik-bauk saja, Bu. Sungguh.”
“Melamun, melakukan segalanya dengan tatapan kosong. Apa kamu piikir kamu punya jiwa? Kamu mebuat ibu gila. Ibu punya anak yang kehilangan jiwanya. Entah jiwamu hilang kemana?!”
“Maafkan, Nan.”
“Cobalah hubugni dia, Nan. Dia tidak mencampakanmu bukan?”
“Tidak, hanya saja. Mengingatnya mebuatku sedih dan kesakitan, Bu. Tolong jangan suruh aku menghubunginya.” Aku mulai menangis.
Ibu hanya menggelengkan kepala. Lalu dengan lembut ia menarikku ke pelukannya. “Nan, Ibu tahu ayahmu meninggalkan kita dengan cara yang paling jahat. Tapi Jason bukan ayahmu. Ibu yakin ia orang yang baik.”
“Ibu, semua laki-laki sama. Aku takut ibu. Aku bahkan tidak berani berpikir tentang ayah. Aku takut Jason melakukan hal yang sama padaku. Aku takut Jason akan seperti ayah.”
Ibu menatapku dengan pedih. Inilah mengapa aku tidak mau memikirkan ayahku. Aku bahkan hamper berhasil menghapus ingatanku tentangnya. 7 tahun yang lalu. Ketika itu malam hari dan badai sedang menerpa. Aku terbangun oleh suara petir. Aku tidak takut sebenarnya, tapi entah kenapa aku ingin tidur dengan Ris dan Hans. Jadi aku pindah kamar. Ketika itulah aku mendengar percakapan ibu dengan ayah.
“Aku harus pergi, Mara.”
“Tapi..” ibu mulai terisak-isak dipelukan ayah.
“Mungkin akan lama. Kemungkinan aku kemabli akan sangat kecil. Tapi aku ingin kamu menungguku.”
Setelah itu dari belakng Hans menutup telingaku lalu menggendengku ke kamrnya. Disana sudah ada Ris.
“Hans, apa ayah dan ibu akan berpisah?”
“Tidak tahu sayang. Kami tidak tahu.” Tapi jawaban Hans justru membuatku mengerti bahwa ayah akan pergi meninggalkan kami. Malam itu kami bertiga berpelukan dan menangis. Hingga akhirnya kami jatuh tertidur. Dan pagi harinya kami sudah tak mendapati ayah dirumah. Tapi kami memdapati ibu yang menagis tersiksa. Sejak itu aku membenci ayah.
Setahun kemudian kami mendapat kabar yang lebih buruk. Ayah menikah dengan seorang wanita lain dan sudah mempunyai anak perempuan. Ibu sekali lagi jatuh ke dalam lembah kesedihan. Begitupun kami bertiga.
Sejak saat itu, aku sudah menganggap aku lahir tanpa ayah. Aku mencoba melupakannya tidak memikirkannya lagi. Bahkan aku berusaha agar kejadian ini tidak akan pernah aku ingat lagi. Selama ini berhasil sampai Jason datang. Aku ketakutan sekaligus jatuh cinta padanya. Hingga saat yang kutakutkan tiba.
“Bu..”
“Percayalah Jason orang yang baik. Dan bila ia jodohmu, Nan. Bila ia belahan jiwamu. Ibu yakin Tuhan akan mempertemukan kalian lagi.”
“Dan maafkan ayahmu. Karena ibu sudah memaafkannya.”
 Sejak kejadian malam itu. Aku sedikit banyak mulai bisa tersenyum. Walaupun hati ini masih berdenyut kesakitan. Tapi aku belum mampu memaafkan ayah. Dan disinilah aku sedang menjalani ujian. Semua soalnya sesuai dengan prediksi. Mudah-mudah sekali. Hingga aku lulus.
Ujian masuk universitas sudah selesai. Hari ini pengumuman. Aku bersyukur karena diterima di fakultas sastra inggris di salah satu universitas favorit. Walaupun bukan ilmu komunikasi tapi setidaknya aku bisa kuliah.
Dan sekarang waktunya untuk menyembuhkan diri. Aku tidak akan berhenti mencintai Jason. Tidak pernah. Tapi aku akan mencoba menghadapi dunia ini tanpanya. Entah sampai kapan aku berani menghubunginya. Emailku mungkin sudah diblokir. Aku membuat email baru dan memulai hidup baru masih dengan cinta yang lama dan selamanya.
Dan soal ayah. Mungkin aku ingin belajar memaafkannya. Walaupun ia yak pernah meminta maaf dan menelantarkan kami begitu saja.
Aku kuliah dan sampinganku adalah menjadi jurnalis lepas di sebuah Koran swasta. Aku memotret dan menulis artikel. Aku tidak menghubungi pemilik galeri foto lagi. Aku bekerja dan belajar setiap hari. Dan aku menemukan dunia baru selain fotografi. Dunia menulis.
Aku bekerja dengan sepenuh hati dan aku belajar di siang hari dengan semangat. Hingga bosku menjanjikan bahwa perusahannya adalah tempat pertama aku harus melamar pekerjaan setelah lulus kuliah.
 Hari ini hari wisudaku. Ibu dan kedua kakakku datang. Setelah menyelesaikan skripsi dan lolos sidang. Akhirnya aku lulus dengan nilai sempurna. Ibu sangat bangga tentu saja. Ia bisa melihat anaknya tetap tegar.
Pulang acara aku mengajak mereka makan malam di restoran jepang.
“Tenang, kak. Aku yang traktir.”
“Yang sudah lulus langsung kerja. Ciyee..”
Kami penuh tawa malam itu. Kami berkumpul layaknya keluarga normal biasa. Ris sudah menikah, sekarang ia hamil 4 bulan. Suaminya tidak bisa ikut. Sedangkan Hans, istrinya dan keponakanku yang baru menginjak SD tahun depan tidak bisa hadir. Jadi hanya kami berempat. Padahal lebih seru kalau banyak orang.
“Setelah ini kamu masih kerja di Koran itu, Nan?” tanya Ris.
“Ya. Mereka sudah jatuh cinta pada setiap artikelku. Lagipula ini menyenangkan, Ris.”
“Setidaknya jangan bilang “I hate Monday”.” Kami tertawa bersama. Dalam tawaku aku masih sempat berpikir tentangnya. Bagaimana ia sekarang?





























No comments:

Post a Comment