BAB 1
Semua hal di
dunia ini datar, normal. Sangat biasa. Itulah hidupku. Mungkin tidak semuanya,
ada bagian dalam hidupku yang sangat tidak normal dan luar biasa. Jadi
bersyukurlah kalian yang hidupnya tidak normal, karena pengalaman-pengalaman
itu kalaian dapatkan justru lebih banyak di kehidupan yang tidak normal.
Namaku Kinanthi
Purie. Semua orang memanggilku Nan. Aku seorang perempuan remaja yang sedang
terjebak di kelas dua jurusan Ilmu Sosial, kelas dengan sekumpulan anak
hidupnya lebih berwarna dariku. Dan meskipun aku merasa terjebak, aku
menyukainya.
Pagi ini hujan
rintik-rintik membasahi bumi, mendung hitam menyelimuti. Hawa agak dingin, aku
merapatkan jaketku, melindungi tubuhku dengan payung bening. Rumahku hanya
berjarak 300 meter dari sekolah. Jalanan agak macet, genangan air dimana-mana.
Membuat setiap langkahku menciptakan cipratan kecil air.
Untunglah
kelasku berada di dekat gerbang, jadi aku tak perlu menyebarangi lapangan yang
penuh dengan kubangan air. Dan lalu lalang orang yang hendak menuju kelas
masing-masing. Aku masuk ke dalam kelas, seperti biasa mengucapkan selamat pagi
kepada teman-temanku yang sedang ribut mengerjakan tugas yang diberikan
seminggu yang lalu. Dan sudah kuselesaikan hari Selasa lalu. Bukannya sok
rajin, hanya saja taka da kegiatan yang bisa kulakukan kecuali mengerjakan
tugas.
Aku menuju
bangku di pojok kelas, dekat jendela. Bangunan kelasku ada di lantai ketiga.
Karena dekat gerbang jadi pemandangan yang terlihat adalah jalanan di bawah.
Dan perumahan. Hari ini hujan, jadi cahaya matahari tidak dapat menembus
jendela. Hari yang normal, tenang, dan sangat biasa. Aku mengeluarkan buku
catatan sejarah. Menyampulinya dengan rajin. Membosankan sekali pelajaran ini,
aku tidak pernah suka.
Tentang
keluargaku, aku punya seorang ibu yang bekerja sebagai guru di sebuah SMP,
seorang kakak laki-laki yang sudah menikah dan akan mempunyai bayi, seorang
kakak perempuan yang sudah bekerja, dan hamper menikah, dan seorang ayah yang
tidak ingin aku pikirkan.
Guru datang
datang dan memulai pelajaran yang membosankan. Aku setengah mendengarkan dan
setenagh memandang ke arah jalanan yang basah dan mulai lengang. Pelajaran
berjalan seperti biasanya. Aku bukannya anak yang bodoh, hanya saja. Aku
berpikir apa gunanya pelajaran ini bagi karirku kelak?
Jam 1 siang
pelajaran berakhir. Aku memutuskan pergi ke taman kota. Saat ini mungkin masih
sepi karena habis hujan. Aku membawa kamera digitalku. Memotret beberapa bunga
yang basah terkena hujan. Hasilnya sangat memukauku. Meskipun tidak sebagus
hasilnya fotografer yang professional, setidaknya aku senang, mengekspresikan
diri lewat foto. Tapi bukan tipe orang yang suka foto sendiri. Aku lebih suka
memotret objek selain diriku.
Disitulah, aku
bertemu dengannya. Tubuh tinggi, badannya gak berisi, kulitnya putih tap tidak
pucat, matanya berwarna kelabu, mirip mendung saat ini, dengan wajah yang
sangat.. wow… dan rambut cokelat acaka-acakan.
Diama-diam aku
memotretnya, menjadikannya objek dari karyaku. Dengan latar belakang taman yang
kelabu. Entah kenapa sepertinya dia menyadari keberadaanku.
“Aku rasa
kalau kamu mau mengambil fotoku secara diam-diam itu sangat tidak sopan.”
Ucapnya lembut.
“Maaf, aku
bukan paparazzi,” mataku menyipit,” dan kamu bukan artis.”
“Aku memang
bukan artis, tapi aku lebih suka jika kamu bilang padaku dulu.”
“Maaf, kamu
lebih menarik difoto ketika kamu tidak menyadarinya.” Ujarku.
“Dimaafkan,”
ia tersenyum lembut” Jason” orang itu mengulurkan tangannya.
Tidak baik
memberikan nama kepada orang yang beberapa detik yang lalu memperkenalkan
namanya padamu. Tapi karena auranya yang begitu memikat membuatku mengucapkan
namaku, “Kinan, panggil saja Nan.” Aku membalas uluran tangannya.
“Jadi, kamu
seorang fotografer?” tanyanya. Ada nada mengejek di dalamnya.
“Bukan, itu
hanya hobi selingan. Biasa saja, semua orang suka foto.”
“Boleh lihat?”
“Tentu saja,”
ia membimbingku ke kursi taman. Aku menyerahkan kameraku kepadanya.
Ia melihat
gambar-gambar di layar kamera. Sesekali keningnya berkerut, sesekali ia
menggumam dalam bahasa yang tidak kumengerti. Sebenarnya orang ini bule nyasar
dari mana?
“Melihat
hasilnya kau memang cocok untuk pekerjaan itu. Semua ini indah, kamu berhasil
menyampaikan maksud dari foto ini dengan sukses.” Ia tersenyum tulus. Nada
arogan dan merendahkan yang tadi kudengar hilang.
“Entahlah,
sepertinya aku hanya ingin melanjutkan hidupku dengan pekerjaan normal.”
“Terserah
kamu, Nan. Kalau kamu berminat, kamu bisa mengirimkan salah satu foto untuk
dilombakan, mungkin dipamerkan akan lebih tepat.”
“Aku belum
pernah mengikuti kompetisi sebelumnya.” Ungkapku jujur.
“Mungkin besok
sore kita bisa bertemu lagi di sini, aku akan membawakan formulirnya.”
“Terima kasih,
Jason.” Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Orang ini baru saja kukenal 15
menit yang lalu, dan sekarang aku duduk sangat dekat dengannya. Seharusnya ini
tidak benar. Dia orang asing. Bagaimana kalau ia punya niat jahat? Tapi pikiran
itu tertutupi oleh semua pesona Jason.
“Aku harus
pulang, ibuku pasti mencariku.” Aku merapikan kembali kameraku. Lalu memakai
tas ranselku.
“Sampai jumpa,
Nan.” Ucapnya lembut,”sampai bertemu lagi.” Ucapnya penuh makna.
Aku melangkah
pergi dengan gamang. Ada yang aneh, perutku seakan dililit rasa mulas yang
nikmat. Seakan langkahku kurang cepat untuk meninggalkan taman ini dengan
segera.
Dan aku tidak
tahu apa yang sedang terjadi padaku, apa yang sedang meracuni pikiranku.
Sesampainya di rumah sebagian pikiranku sudah tercemari oleh Jason. Ada yang
berbeda di hidupku, ada warna baru di kehidupanku yang normal. Dan kenyataan
itu tidak membuatku terlalu senang.
No comments:
Post a Comment