BAB 6
Musim liburan
telah tiba, kami semua naik ke kelas XII, berita buruknya adalah Jason pisah
kelas denganku, padahal aku tidak tahan kalau tidak bersamanya. Tapi tak
apalah. Karena dia tetap bersikap sama saja. Oh iya, drama kami mendapat
penghargaan drama terbaik, penataan
panggung terbaik, dan cerita terbaik. Di luar target kami.
Setiap hari
selama liburan Jason datang ke rumah dari pagi hingga malam menjelang. Ibu dan
Ris sampai heran melihat Jason betah sekali mengunjungiku. Tapi aku senan,
karena Jason mengenal keluargaku dengan lebih dekat. Tapi, aku belum mengenal
Jason sejengkalpun. Dimana dia tinggal, orang tuanya bagaimana, kehidupannya
selain denganku seperti apa. Hal-hal sepele itu begitu menggangguku.
Dalam hatiku
yang terdalam aku berharap dia hanya seorang berdarah campuran yang biasa saja.
Aku takutb bila ia terlalu luar biasa aku akan pudar olehnya. Hari ini
rencananya ia akan mengajakku ke suatu tempat. Ia sudah meminta ijin pada Ibu,
dan Ibu dengan mudahnya percaya. Sehebat apa orang ini dalam mempengaruhi
orang.
“Kita naik bus
saja ya?” waktu itu aku memaksa naik bus.
“Kenapa?
perjalanannya agak jauh. Tidakkah nanti kamu lelah?” ia mengelus pipiku. Saat
itu kami sedang berada diteras rumah, bermain catur.
“Aku sudah
terbiasa, Jason.” Aku memperingatkannya.
“Baiklah,
Nona.” Ia mengacak rambutku.
Dan sekarang
kami duduk di sebuah bus menuju ke pusat kota. “Sebenarnya kita akan kemana?”
“Lihat saja.”
Ia tersenyum jahil.
“Ayolah,
Jason. Apa maksudnya semua ini?” aku mencubit telapak tangannya kecil-kecil.
Tetapi ia malah meringis geli daripada kesakitan. Ia melingkarkan lengannya di
bahuku, lalu menyenderkan badannya sepenuhnya kepadaku.
“Nyaman sekali.”
“Jaon, kan
malu. Banyak orang.” Aku berbisik. Takut ketahuan penumpang lain. Untungnya
tempat duduk kami agak tersembunyi di pojok.
“Biarkan
saja.” Ia mempererat pelukannya.
Aku menghela
nafas. Ia memelukku erat seolah aku akan pergi darinya saja. Tapi aku tidak
mungkin bisa beranjak dari sisinya. Aku akan selalu membutuhkannya. Mungkin
bukan dalam hal fisik atau materi. Tapi secara batin, keseluruhan aku sangat
membutuhkannya.
Tapi ia
mungkin membutuhkan orang yang lebih daripada aku mengingat terlalu “sempurna”
ia. Sampai saat itu tiba aku harus sudah mempersiapkan hatiku ketika ia sudah
bosan dan pergi meninggalkanku. Meski dalam hati kecilku, aku berharap dia tidak akan pernah pergi dari sisiku. Dari
hatiku.
Jason benar,
perjalanannya agak lama. Tubuhku agak pegal tapi tidak terlalu terasa karena
ada yang lebih membuat yang lain terasa.kami sampai di sebuah gedung kecil.
Sepertnya sebuah gallery. Tapi galeri apa? Dari depan desainnya minimalis tapi
berkesan mewah.
“Ini tempat
apa?” tanyaku.
“Galeri Seni
Makrecif, tempat semua karya Madam Makrecif.”
“Siapa lagi
dia? Lalu kenapa harus kesini?”
“Karena. Aku
harus mengunjungi seorang teman.” Ia menarik tanganku lembut, membimbingku
masuk ke dalam.
Semua isinya
adalah foto. Aku piker akan menjumpai lukisan abstrak yang tidak aku mengerti
maksudnya. Mulai dari foto remeh sampai yang bagus sekali. Tapi satu hal yang
aku tahu. Ini semua berharga. Mungkin terlihat sepele ketika dilihat hanya
sekelebat mata. Tapi jika diamati lebih lama ada makna dan bentuk yang berbeda.
Mana sih
temannya Jason. Dari tadi Jason hanya membawaku berkeliling saja. “Teman kamu
yang mana? Daritadi kita keliling terus?”
“Sebentar, ada
yang ingin kuperlihatkan.” Ia menyeretku seolah aku ini apa saja.
Ia membawaku
ke ruangan yang laon. Lebih kecil memang. Tapi desain ruangan ini yang paling
indah. Perpaduan budaya eropa abad ke 15 dan budaya asia. Ada berbagai macam
foto di sini. Ketika aku melihat foto-foto itu. Mataku terpaku pada satu foto.
Aku tidak mungkin salah mengenali. Aku yakin siapa yang ada dalam foto itu.
Itukan aku. Duduk di sebuah kursi taman sambil membawa kamera di leherku dan
sedang tertidur dengan kepalaku menunduk kebawah.
“Jason..” aku
tidak mampu berkata apa-apa lagi.
“Iya sayang
itu memang kamu. Kau mungkin bertanya-tanya kapan aku mengambilnya.”
“Aku memang
tidak ingat aku pernah berpose untukmu. Lagipula aku fotografernya di sini.”
Aku melipat kedua tanganku, mengangakt alisku meminta penjelasan.
“Nanti,
sayang. Sekarang kita temui temanku itu.”
Ia membawaku
kepada seorang wanita separuh baya. Sepertinya orang ini juga campuran kentara
sekali dari kulitnya yang putih langsat namun aksen wajah bulenya tidak bisa
tertutupi. Penampilannya sangat chic, tapi kesan feminimnya tidak bisa
ditutupi.
“Hai, Bibi.”
“Hai,
keponakanku sayang. Oh rupanya kamu telah membawanya.” Ia tersenyum. Senyum yang
anggun tapi berkesan ramah dan sopan. Tapi apa maksud percakapan mereka?
“Oh iya, Nan. Ini
adik dari papa di Belanda. Dia pemilik galeri ini. Kamu ingat waktu aku
memberimu formulir kontes foto itu/”
Aku menganggukan
kepala. Jason memang pernah memberikan dataku ke panitianya. Tapi apakah yang
mengadakan itu semua bibi Jason ini ya?
“Bukan, tapi
beliau ini salah satu jurinya. Itu lomba bertaraf internasional. Tapi sayangnya
fotomu belum mampu menjadi pemenang. Hanya saja mereka tetap memamerkan karyamu
di Den Hag sana.” Ia tersenyum.
Apa? Apa yang
barusan ia katakana? Ya Tuhan, ini tidak mungkin. Lolos kurasi di tingkat
setinggi itu. Ini pasti mimpi. Aku mencubit lenganku, tapi tetap terasa sakit. “Serius
kamu, Jason?”
“Ya, tapi
jangan putus asa. Bibiku ini melihat potensi pada foto-fotomu. Ia mungkin menawarimu
untuk bekerja bersamanya.”
“Apa?’ mataku
membulat. Ini benar-benar di luar pikiranku. Ya Tuhan terima kasih atas nikmat
yang Engkau berikan kepadaku.
“Ya, Nan. Tapi
tak perlu khawatir. Kamu hanya perlu mengirim hasil pekerjaanmu lewat internet.”
Ia tersenyum geli, melihat ekspresi bingung campur senang di wajahku. “Mari
kita ke ruanganku.”
Jason menggandeng
tanganku, meremasnya lembut. “Sayang, setelah ini ayo kita sedikit
bersenang-senang.” Ia tersenyum padaku, matanya menatapku dengan intens. Apa yang
ada dipikiran orang itu? Awas saja berani macam-macam.
“Apa?” aku
mengarhkan pandangan menantang padanya,”Awas saja kalau macam-macam. Kupatahkan
lehermu.”
“Kamu
piker aku bakal apa?” ia tersenyum jahil, seoalah tak peduli dengan tatapan
galakku.
Ternyata ia
mengajakku, ke sebuah teluk di kota itu. Indah sekali, dengan matahari masih
belum mendekati batas cakrawala. Kami akhirnya memutuskan ke sebuah kafe di
dekat sana. Oh iya tadi kenapa ada fotoku di galeri? Sesuatu yang harus
kutanyakan.
“Jason..” aku
memanggilnya. Saat itu seorang laki-laki menawarkan menu kepada kami.
“Kamu pesan
apa?”
“Apa saja
terserah.”aku mulai tidak sabar.
“Kalau
begitu..” ia mulai menyebutkan minuman dan makanan kepada pelayan itu. Aku mengetukkan
jari ke kursiku. Lalu mengalihkan pandanganku ke pantai.
“Jason aku..”
“Pemandangannya
indah ya?”
“Oke, kalau
tidak mau mendengarkanku aku tidak akan berbicara padamu.”
“Baiklah-baiklah.
Sekarang apa?”
“Bagaimana
bisa? Kamu bertemu denganku saat kelas XI kan? Tapi aku yakin waktu itu aku
masih kelas X. bagaimana mungkin?” aku nyaris berbisik.
“Maafkan aku,
Nan. Sebenarnya sudah 4 tahun yang lalu aku mengenalmu.” Ia mengulurkan
tangannya ke tanganku, memainkan jemariku.
“Apa?” ya
ampun, Jason. Bagaimana bisa?
“Ya, sejak aku
datang ke taman itu dan melihatmu, aku sudah sangat yakin bahwa aku jatuh cinta
padamu. Sejak itu aku selalu datang ke sana. Mengamatimu diam-diam. Seperti seorang
penguntit saja.” Ia menundukkan kepalanya.
“Tapi aku
merasa kalau pertemuan kita itu yang pertama.’’
“Tidak, aku
hanya baru menunjukkan diriku waktu itu. Percaya atau tidak, Nan. Aku sudah
lulus kuliah sebenarnya.” Ia tersenyum.
“Apa?” ya
ampun banyak sekali hal yang tidak kuketahui tentangnya. Dan fakta dia sudah
lulus kuliah tapi masuk lagi ke SMA membuatku melongo. Pantas saja selama ini
dia terlalu dewasa untuk ukuran anak SMA, terlalu pintar.
“Aku masuk ke
sekolahmu hanya karena aku ingin dekat denganmu setiap hari, aku menggunakan
segala cara. Untungnya orang tua Arista adalah sahabat dekat orang tuaku. Jadi mereka
menolongku, mereka sudah menganggapku seperti kakak Arista. Aku marah ketika
Agung mendekatimu. Ya aku cemburu, coba saja kalau Camryn tidak datang pasti
kamu akan terus berada di bawah pengawasanku.” Pelayan datang menata makanan
kami. Selanjutnya kami makan dalam keheningan. Sampai kami kembali ke teluk
matahari sudah akan kembali ke peraduannya di belahan bumi yang lain.
“Maafkan atas
semua kebohongan ini, Nan. Memisahkan kelasku dan kelasmu juga bagian
rencanaku. Tapi kamu belum boleh tahu.”
“Tadi kau
bilang, bahwa kamu jatuh cinta padaku?”
“Dengan
seluruh jiwa ragaku, sayangku.” Ia memejamkan matanya.
“Kau sudah
membohongiku dan itu tidak bisa dimaafkan dengan mudah, Jason.”
“Ya, aku tahu
sayang. Maafkan aku.”
“Tapi aku,
juga jatuh cinta padamu.”aku mengakuinya. Akhirnya.
“Apa, Nan? Katakana
sekali lagi?” ia menyentuh kedua lenganku, aku agak sedikit terguncang, namun
aku tetap tersenyum.
“Aku jatuh
cinta padamu sejak kau pura-pura memarahiku karena mengambil gambarmu, Jason.”
“Ya Tuhan…” ia
memelukku sangat erat. Orang-orang di sekitar kami memandangi kami dengan
heran.
“Lepaskan
Jason, ini tempat umum.” Ia tersenyum lebar. Sepertinya bahagia sekali, tapi
aku lebih bahagia lagi.
Ya, kami
mengakui perasaan masing-masing. Aku sangat bahagia melebihi apapun yang aku
rasakan. Aku bersyukur Tuhan telah mengirimkan Jason untukku. Merubah kehidupanku
yang biasa tanpa warna yang berarti
menjadi sangat berwarna. Aku tidak tahu kapan aku sadar penuh aku
mencintainya. Tapi satu hal yang pasti aku mencintainya karena Tuhan
menghendakinya, aku tahu ada rencana besar di baliknya.
Cinta, aku
belum mengenal kata itu hingga Jason datang padaku memberikan sebentuk cinta
yang berbeda dari yang biasa kudapatkan. Dan aku mungkin akan terus
mencintainya hingga Tuhan menghentikan rasa cintaku padanya.
Ketika cinta
telah termiliki dan dimiliki, harapan sang pemilik cinta hanyalah agar cinta
itu tidak akan pernah pudar, hilang, atau teralihkan. Dengan segenap
kesadaranku aku bahagia.
No comments:
Post a Comment