BAB 9
Hari ini aku mengajak Daniel, keponakanku.
Anak Hans dan Erika. Kami pergi ke taman dekat rumahku. Aku sudah tidak sakit
lagi ketika mengunjungi tempat-tempat tertentu sejak kejadian malam sebelum aku
ujian Negara.
“Tante, beli kembang gula yang disitu ya?” ia
menarik sweterku.
“Boleh, tapi janji satu hal. Setelah makan
permen harus..?”
“Sikat gigi!” ia tersenyum lebar. Aku merogoh
dompetku dan memberinya selembar uang dua ribu rupiah. Kamudian Daniel berlari
dengan riang ke tukang penjual kembang gula itu. Aku kemudian mencari bangku
yang nyaman untuk makan kembang gula.
Daniel kembali membawa kembang gula berwarna
putih caramel. “Terima kasih, tante.”
“Sama-sama, sayang. Aku mengelus rambutnya
dengan sayang. Meskipun statusnya hanya keponakan, tapi ia sudah seperti “anak”
ku. Tentu saja aku tak memanjakannya setiap hari. Ada saat-saat aku membelikan
apa yang ia mau karena suatu hal yang baik telah ia lakukan.seperti tadi,
ketika Erika sedang berada di luar pulau menjenguk orang tuanya dengan Hans.
Dan Daniel tidak bisa ikut karena ada ujian semester. Ia anak yang jenius.
IQnya sudah mencapai 140 di usia 8 tahun. Tak heran ia selalu mendapat juara
kelas atau yang lain. Bibit dari Hans dan Erika benar-benar berkualitas.
Aku mendengarkan Daniel mengoceh tentang
semua hal yang ia temui hari ini. Mulai dari anak ayam yang nyasar ke dalam
kelasnya saat ulangan matematika, sehingga semua murid tidak bisa
berkonsentrasi pada soal-soal mereka. Sehingga mereka harus pindah ruangan. Dan
masih banyak lagi cerita-cerita konyol Daniel. Aku mendengarkan dengan penuh
minat. Kadangkala cerita Daniel mampu memberiku inspirasi untuk menulis.
“Kata Papa, dulu waktu SMA tante sering main
ke sini ya?”
“Ya, Daniel. Memang kenapa?” aku mulai cemas
jika Hans menceritakan iapada Daniel.
“Aneh tante.” Syukurlah.
“Aneh?”
“Iya, seharusnya remaja seusia tante kan
mainnya ke mall, ke bioskop.” Ya ampun dari mana anak sekecil ini tahu tentang
kehidupan orang remaja?
“Darimana kamu tahu hal-hal seperti itu,
Daniel?”
“Kakaknya Johan. Dia anak SMA. Dan Johan
selalu cerita tentang kebiasaan kakaknya. Johan bilang kakaknya populer di
sekolah. Jadi waktu aku tahu tante mainnya nggak sama kayak kakaknya Johan aku
piker tante aneh.”ia menatapku dengan mata cokelat gelapnya.
“Sayang, kita tidak pernah bisa membandingkan
kehidupan seseorang lebih baik atau tidak.” Aku mengusap rambutnya yang
berantakan.
“Kenapa memangnya ?”
“Karena setiap orang memiliki hidupnya
masing-masing, dan mereka semua setara, sayang.” Kulihat Daniel menganggukkan
kepalanya. Seolah ia sangat mengerti. Walaupun ia termasuk anak yang cerdas,
penampilannya tidak cupu untuk ukuran anak kelas 2 SD. Ia bahkan lebih keren
dari teman-temannya ketika aku ikut Hans mengambil rapot Daniel aku melihatnya
dikelilingi teman perempuannya. Sepertinya dia sangat populer. Tapi dia dengan
kejamnya tak memperhatikan semua teman-temannya itu dan malah bermain dengan
anak laki-laki. Mirip dia.
“Ayo pulang?”
“Iya, Tante.” Aku menggandeng tangan Daniel.
Untuk beberapa alasan dia menjadi pelipur laraku ketika “dia” sudah pergi
menjauh.
Ibu sangat senang jika Daniel menginap di
rumah. Jelas, cucu pertama. Daniel seperti pusat dari keluarga kami. Walaupun
kami tak memanjakannya, tapi kami semua sayang padanya. Telepon genggamku
bordering. Kulihat Hans yang menghubungiku.
“Halo, Hans.”
“Halo, Nan. Ibu mana?”
“Ini disebelahku. Mau bicara? Aku kasihkan
teleponnya ke ibu.” Aku menyerahkan teleponnya ke ibuku. Aku melihat ibu
mengernyitkan dahi, dan bebrapa kali mengangguk dan menjawab “iya”. Ibu menutup
teleponnya. Pandangannya agak cemas. “Ada apa. Bu?”
“Orang tua Erika, kondisinya semakin parah.
Ayahnya sering mengigau tidak jelas. Dan ia ingin bertemu Daniel.” Oh ya Tuhan.
“Lalu?”
“Hans meminta agar kamu mau mengantar Daniel
ke Bali.” Aku menghela nafas. Apa salahnya membantu Hans? Aku bisa minta cuti
ke kantor mala mini. Tinggal telepon Pak Andre. Semua beres.
“Baiklah, aku harus mengurus cutiku dulu.
Besok pagi kita ambil penerbangan yang pertama. Kasihan jika Daniel harus
berangkat malam ini juga.” Ibu mengangguk ia kemudian meraih Daniel dan entah
membicarakan apa.
Aku memanggil nomor Pak Andre. Lama kemudian
baru diangkat. “Halo, Kinan. Ada apa?”
“Begini, Pak. Maaf malam-malam mengganggu.
Tapi saya ada keperluan mendadak dan mendesak.” Aku menceritakan masalahku
kepada Pak Andre.
“Lalu?”
“Saya ingin meminta cuti selama seminggu,
Pak.” Lama ia terdiam. Sampai kemudian suara batuk orang tua terdengar
tertahan.
“Bapak tidak apa-apa?”
“Ya. Boleh saja, Kinan. Tapi saya rasa kamu
tidak perlu mengambil cuti. Dengan syarat. Kamu harus mewawancarai seorang
pengusaha Resort nomor wahid di Indonesia, sekarang dia ada di Bali. Rincian
tugasmu akan aku kirimkan di email. Mungkin hanya butuh dua hari. Aku sudah
mengatir jadwal. Jadi selain dua hari itu. Kamu bebas.” Wow. Keberuntungan yang
tak terduga.
“Baik, Pak. Terima kasih.” Setelah
berbasa-basi sebentar aku langsung menelpon agen travel. Semua diurus oleh mereka. Aku berangkat besok jam
7. Sekarang mengurus ijin sekolah Daniel. Aku menelpon langsung kepala
sekolahnya. Mengatakan bahwa Daniel baru bisa melanjutkan ujiannya seminggu
lagi. Awalnya kukira sulit berdiplomasi dengan orang ini. Tapi ia dapat
menerima alasanku. Semua beres tinggal berangkat ke Bali.
Kami baru tiba di Denpasar jam 9 pagi.
Mobilnya sudah menunggu. Aku menggandeng Daniel ke sana kemari. Kasihan anak
ini. Tapi semangatnya seolah tidak surut. Di mobil aku mengeluarkan tab,
mengechek email dari bos. Wawancara dilaksanakan 4 hari lagi jam 7 malam di
resort pengusaha itu. Mr J. Rathbone Di pantai Balangan, kawasan Jimbaran.
Semua bahan wawancara sudah siap, aku hanya perlu sedikit merevisi dan
memolesnya. Sementara itu, aku akan membantu Hans sebisaku. Kami tiba di rumah
orang tua Erika. Meskipun bukan asli penduduk sini tapi mereka tetap
menghromati adat setempat. Sangat liberal sekali. Ayah Erika dirawat di rumah
dengan berbagai alat penunjang kehidupan terpasang di tubuhnya.
Melihatnya aku sudah trenyuh sekali. Aku
memeluk kakak iparku itu dengan sayang. Aku membiarkan kuluarga itu berkumpul.
Aku pamit keluar dulu pada Hans. Walaupun susananya agak sedih tak bisa
dipungkiri. Berada di Bali itu menyenangkan. Berasa jadi orang Indonesia asli.
Budaya disini benar-benar dipertahankan.
Tetangga Pak Heri, ayah mertua Hans semuanya
orang Bali asli. Ketika aku duduk di teras depan aku melihat gadis-gadis bali
yang membawa entah apa di kepala mereka. Coba saja aku kesini bukan dalam
keadaan seperti ini. Pasti sudah loncat kesana kemari. Mencari objek-objek
menarik.
Hans menghampiriku yang sedang duduk melamun.
“Ayo kuantar ke kamarmu. Setelah melihat Daniel, ayahku sedikit membaik.”
Aku mengikutinya. Kamarnya cukup luas. Dan
bagus. Aku menyukainya. “Terima kasih, Hans.”
“Tidak, aku yang berterima kasih. Kamu sudah
mau berbaik hati mengantar Daniel kemari. Aku tahu pekerjaanmu sebagai jurnalis
pasti dituntut untuk selalu siap. Tapi malah membawamu kemari untuk urusanku
yang seharusnya tidak penting bagimu.”
“Sudahlah, Kak. Aku kan adikmu yang paling
baik di dunia.” aku memasang wajah tercerahku. Aku tahu perasaan sedih Erika
juga dirasakan Hans, sehingga membuatnya sedih juga. Kemudian ia memelukku. Aku
sayang dengan kakak laki-laki ku yang satu ini. “Lagipula, aku tetap tidak
sepenuhnya tidak bekerja.”
“Maksudmu?”
“Ya, mereka tidak menghitung ketidakhadiranku
sebagai cuti tapi sebuah pekerjaan.”
“Syukurlah.”
“Ya. Bagaimana dengan ayahmu, Kak?”
“Mengapa kau memanggilku, Kak sekarang?”
“Sesekal.” Aku nyengir padanya dan ia
melemparkan bantal itu ke arahku.
“Dasar.”
Kondisi Pak Heri sudah membaik, bahkan dokter
sudah melepas alat bantu pernafasannya. Oh iya, ISTRI Pak Heri sudah lama
meninggal. Kehadiran Daniel sangat membantu. Aku senang melihat mereka yang
bahagia karena beban yang sedikit berkurang.
Empat hari telah berlalu. Hari ini waktunya
aku bekerja. Aku tidak tahu siapa itu Mister Rathbone. Kata Pak Andre dia
pengusaha muda yang sukses. Katanya artikel ini untuk mengisi rubric baru kami.
Tentang bisnis di Indonesia. Yang aku diwajibkan untuk memakai pakaian formal.
Rok hitam selutut dan kemeja putihku yang cantik.
Mobil dari kantor sudah menjemput. Aku
membawa laptop, tab, kamera, dan beberapa berkas dalam sebuah ransel besar yang
menggantung di punggungku. Aku menikmati pemandangan di Bali sepanjang jalan.
Meskipun bukan pemandangan alam semua, namun pemandangan budaya di sini sungguh
luar biasa indah.
Sampai kemudian aku tiba di sebuah resort
mewah di daerah Jimbaran. Aku masuk kemudian menemui resepsionis. Aku membawa
kartu pengenal dari perusahaan. Ia menelepon seseorang dan tak lama kemudian
seorang pegawai datang, ia bertugas mengantarku ke tempat wawancara.
Kulihat orang ini sepertinya pandai mencari
peluang bisnis. Terbukti dari pintarnya ia mencari lokasi, konsumen. Kami
sampai di sebuah ruang santai. Angin pantai berhembus agak kencang. “Silahkan
menunggu, Nona.” Ia pamit undur diri. Aku mengangguk lalu duduk di kursi tamu.
Di meja sudah ada 2 gelas jus jeruk dan kudapan. Tunggu dulu. Jus jeruk?
Biasanya orang asing walaupun punya darah Indonesia kalau ada acara resmi
seperti ini mereka minum the. Dan bukannya jus jeruk. Mungkin orang ini aneh.
Aku membayangkan kalau Mister Rathbone ini orang yang kuper, berkacamata, dan
kaku.
Kudengar suara pintu terbuka. Aku berdiri
untuk menjabat tangannya. Berusaha bersikap sopan. Namun, alangkah kagetnya
aku. Laki-laki itu. Bagaimana aku bisa tidak tahu? Rambutnya masih tetap sama,
mata kelabu yang menatapku tajam. Hanya saja ia terlihat lebih dewasa dari
terakhir aku melihatnya. Tapi ada satu hal baru yang kulihat di mata kelabunya
itu. Kemarahan yang luar biasa. Wajahnya datar.
“Hai, Sayang. Sudah lama sekali ya tidak
bertemu.” Ia mendekatiku. Sepertinya dia sangat marah hingga aku melangkah
mundur tanpa sadar ada perasaan takut. Tapi kemudian rasa takut itu berubah
menjadi sebuah euphoria baru. Seolah lukaku yang selama ini terasa di setiap
detiknya lenyap. Seperti luka itu tidak pernah ada.
Aku setengah berlari ke Jason. Menubruk
tubuhnya yang besar dan keras. Aku menghirup aromanya, masih sama. Ia masih
tetap hangat seperti dulu. Aku memeluknya sangat erat. Aku tak ingin ia
tiba-tiba lenyap dari hadapanku lagi. Tangannya melingkupi badanku. Ia
menenggelamkan wajahnya di rambutku yang sudah memanjang lagi.
“Kemana saja kau? Kau tak tahu rasanya aku
jadi gila di setiap detiknya. Aku benar-benar hamper kehilanganmu.”
“Maaf.” Ia melepaskan pelukannya, tangannya
memegangi kedua sisi kepalaku.
“Kenapa seolah kau menghilang? Apa kau sudah
muak kepadaku? Apa kau sudah tidak percaya padaku?”
“Bukan begitu, aku hanya.. aku hanya…”
“Sayang, aku sudah bilang kalau kau tak mampu
jangan menungguku?” dia benar. Aku hanya ketakutan..
“Tapi sepertinya aku terlambat. Seharusnya kau
bilang kau tidak akan menungguku waktu itu.” Kini dia benar-benar melepaskanku.
“terlambat? Untuk apa?” akuu mengerutkan
kening.
“Aku kembali ke kota untuk menemuimu setelah
aku sempat kehilangan informasi mengenaimu. Email yang tidak kau balas dan
lama-lama sudah diblokir. Dan dengan kesibukan luar biasa aku tidak sempat
mencarimu lagi.”
“Dan kamu menyerah?”
“Tidak tentu saja. Aku menghubungi Arista
untuk terus mengawasimu, ia bilang kau kembali seperti kau belum mengenalku. Aku
tidak tahu bagaimana dirimu sebelum bertemu denganku. Aku berpikir bahwa kau
lebih bahagia sebelum bertemu denganku. Lalu ketika ia tidak satu universitas denganmu.
Aku tidak mendengar kabarmu lagi. Dan aku berpikir mungkin kau sudah
melupakanku.” Kamu salah.
“Maafkan aku. Aku hanya takut.”
“Takut apa, Sayang?”
“Ketika bersamamu, kepercayaanku padamu
sangat kuat. Tetapi ketika akutidak bersamamu kepercayaanku padamu melemah. Seolah
kamu kekuatanku. Percayalah. Ketika kamu pergi, saat itu aku benar-benar takut.”
Aku mwnangis. Sakit mengingat masa-masa itu. Kemudian ia merungkuhku lagi.
“Seharusnya aku tidak mengambil keputusan
untuk pergi. Aku melakukan kesalahan besar. Aku mencintaimu, tetapi aku tidak
bisa memilikimu.”
“Apa maksudmu, Jason?” aku mengotori jasnya
dengan air mataku. Aku tersenyum kecut dalam hati.
“Aku kembali ke Indonesia, seminggu yang
lalu. Tentu saja aku bisa langsung menemukanmu. Kemudian ketika aku melihatmu
di taman bersama seorang anak laki-laki dan pandanganmu begitu…”
“Tunggu. Jadi kau ada di sana? Di taman itu ?
kenapa kau tidak menemuiku, dasar bule.” Aku memukul ringan dadanya.
“Ya, aku terlalu pengecut. Tapi aku memang
sebenarnya tidak berhak menemuimu. Mengingatmu sudah dimiliki oleh orang lain.”
“Oh, seandainya saja semudah itu aku dimiliki
orang lain selain kau.”
“Apa? Lalu anak itu?”
“Anak Hans, kakakku. Ingat?”
“Ya. Ya Tuhan.” Ia memelukku erat-erat “Terima
kasih.”
Ia melepaskanku, kemudian segenap perasaan ia
meletakkan bibirnya di bibirku sekali lagi. Seperti dulu rasanya, bahkan lebih
indah.
“Jelaskan padaku kenapa bosku bisa ikut
campur dalam masalah kita.?” Aku menyandarkan kepalaku ke bahunya. Kami sedang
bersantai di beranda. Dengan pemandangan pantai yang masih sangat sepi.
“Waktu aku berpikir mungkin masih ada
kesempatan walau kau sudah dimiliki orang lain, aku melacak semua tentangmu. Hingga
membawaku ke bosmu itu. Aku menjanjikan beberapa artikel tentang bisnisku
kepada Koran tempatmu bekerja asala dia mampu membawamu kepadaku.”
“Kau memang tukang suap.”
“Tidak juga, mengingat sulitnya mengorek
informasi dari perusahaanku. Kebetulan kau mengantar keponakanmu, jadi sekalian
dia memanfaatkan kesempatan itu. Dan hari itu juga aku langsung terbang kemari.”
“Jadi ini semua sudah direncanakan?”
“Ya. Aku minta maaf harus seperti ini
caranya.” Ia menghirup pergelangan tanganku. “Sekarang bisakah kau ceritakan
apa masalahmu sehingga harus membuatku menderita sedemikian rupa seperti ini.”
“Aku juga menderita, lebih parahnya aku
ketakutan.”
“Sayang..”
Kemudian kisahku mengalir, sangat sulit
awalnya mengakui semuanya. Masa laluku, ayah, ibu. Semua kuceritakan. Hingga badanku
bergetar. Ia memperhatikanku. lenganngya melingkari tubuhku seolah takut aku
akan menjadi serpihan. Dan semuanya selesai.
“Nan, tahukah kamu. Mungkin ini semua sudah
terencana,”
“Ya, aku kadang berpikir seperti itu.”
“Hidup tidak bisa melalui proses yang mudah. Terkadang
sebelum merasakan kebahagiaan sesuatu yang sangat pahit, menyakitkan pasti
mendera. Tuhan tahu, tapi menunggu. Ia yang menyusun ritme hidup agar lebih
berwarna. Apa tantangan hidup jika tidak ada masalah/ apa jadinya hidup jika
kesakitan tidak menjadi bagiannya? Tapi aku bersyukur tidak perlu berates tahun
menunggumu kembali kepadaku.”
Aku bergelung makin rapat pada Jason. “Aku
mencintaimu.”
“Aku tahu, dan aku juga. Aku tidak akan
meninggalkanmu barang sedetikpun.”
“Ya, aku percaya.” Aku akan mempercayainya
meskipun ia meninggalkanku beribu tahun lamanya.
No comments:
Post a Comment