BAB 3
Hari ini kakak
perempuanku, Priska, atau biasa kupanggil Ris datang bersama calon suaminya.
Jarakku dan kedua kakakku sangat jauh, sekitar 9-10 tahun. Wajar kalau aku
menjadi yang terakhir di rumah. Hari ini makan malamnya cukup istimewa. Masakan
ibu semua serba Indonesia, mungkin sudah mewakili seluruh nusantara, mengingat
ada masakan Padang, masakan Betawi, sampai makanan khas Sulawesi juga ada. Dan
semuanya pedas. Itu bagus.
Aku makan
dengan cukup lahap, kami bercanda sekeluarga. Ya seperti itulah, normal sekali.
Setelah semua selesai makan aku bertugas membersihkan meja dan menyimpan
makanan kembali dalam lemari es. Setelah selesai aku pergi ke kamar. Duduk diam
di sofa.
Ketika kulihat
di layar HP nomor tidak dikenal mengirim panggilan. Aku mengamatinya sejenak,
mencoba mengenali nomor itu, lalu kuangkat. “Aku piker kau tidak tahu cara
menerima telepon.” Sudah jelas kalau itu Jason.
“Aku hanya
mencoba mengenali nomornya.” Kilahku. “Bagaimana kamu tahu nomor HP ku?”
“Aku punya
kenalan di semua operator, jadi aku bisa tahu nomor telepon siapapun yang aku
inginkan.” Ucapnya santai. “Pergilah ke halaman belakang. Aku ada disini”
“Apaaa?? Sejak
kapan kau disitu?” aku menyibakkan tirai jendela di kamar yang llangsung menuju
halaman belakang. Dan Jason ada disana, sedang duduk di pagar yang rendah
sambil melambaikan tangannya. “Tunggu, aku kesana.” Aku mengakhiri panggilan.
Lalu dengan langkah agak cepat menuju halaman belakang.
Di belakang
rumahku ada sebuah tanah lapang yang luas. Jika ada perlombaan 17 Agustus di
sini sangat ramai, tapi kalau hari biasa hanya lampu yang besar yang menyala di
sudut lapangan.
Aku
menghampirinya, nafasku agak terengah karena aku berlari ketika melintasi
halaman. “Aku rasa kehadiranku disini cukup membuatmu senang.” Ia tersenyum
jahil di keremangan lampu.
“Apaan?” aku
mendengus kecil. “Ada apa?”
Ia memberi
isyarat agar aku mengikutinya ke lapangan. “Entahlah, aku hanya ingin bertemu
denganmu. Apa tidak boleh?” sekarang lampu itu mengenai wajahnya, sehingga
ketampanannya terlihat jelas.
Aku bahkan
kesulitan mengeluarkan kata-kata. Hanya mampu menatapnya. “Bukan begitu. Hanya
saja…”
“Hanya saja
apa, Nan?” ia memanggilku dengan akrab, menyenangkan sekali.
“Entahlah. Aku
juga tidak mengerti.” Aku mendongakkan kepalaku ke atas, berusaha menatap mata
kelabunya itu, mencari sesuatu di sana.
Ia tersenyum
lalu mengusap lembut rambutku, “Ngomong-ngomong bagaiman kau menjelaskan
rambutmu kepada keluargamu?”
“Aku bilang
ada kecelakaan kecil, rambutku menempel di dinding yang masih bercat basah.”
Aku mengernyit.
“Kupikir
mereka tidak akan bisa percaya.” Ia tertawa.
“Kenapa?”
“Aktingmu
sangat buruk, Nona.” Ia tersenyum , kali ini sangat santai.
Aku
menyipitkan mataku, berusaha terliat galak kepadanya. “Dan sikapmu sangat
menyebalkan, Tuan.”
Dan yang
selanjutnya terjadi sungguh tidak terpikirkan olehku, ia meraihku dan
meletakkan dagunya di puncak kepalaku. Aku baru mengenal Jason beberapa hari
yang lalu, dan sekarang aku sudah berpelukan dengan orang asing ini. Aromanya
harum, tidak seperti harum Hans, kakak laki-lakiku. Dan aku menyukainya, aku
menghirup aromanya berussaha menyimpannya dalam ingatanku. Lama kami berpelukan
seperti itu.
“Aku harus
mengembalikanmu ke rumah sebelum hal-hal aneh yang lain terjadi.” Aku sama
sekali tidak mengerti maksudnya. “Ayo, kuantar kembali ke rumah.” Ia
menggandeng tanganku. Ia sangat santai dan menyenangkan. Aku ingin berada di sisi
Jason. Selamnya. Sebagai sahabat yang saling menyayangi.
Orang rumah
terkejut ketika aku yang tadi berada di dalam kamar tiba-tiba bisa masuk lewat
halaman depan dan membawa seorang yang sangat menawan. Jaso sangat sopan, ia
berpamitan pada ibu. Lalu pulang. Dan tentu saja aku langsung di interogasi
oleh orang serumah malam itu. Tapi untungnya mereka mau mengerti bahwa Jason
hanya seorang sahabat, aku meyakinkan ibu bahwa aku belum bisa jatuh cinta.
Karena aku sendiri tidak tahu jatuh cinta itu bagaimana.
Keesokan harinya
merekaagak terkejut dengan rambutku , lalu Bagus. Ketua kelas kami mengumumkan
bahwa akan ada perlombaan drama antar kelas seperti tahun kemarin. Ajang
bergengsi di sekolah kami. Yahun lalu saat kelas X, aku mendapatkan penghargaan
penulis scenario terbaik. Waktu itu aku membuat cerita tentang Rama Shinta, dan
kata mereka cerita pertempuran dengan Rahwana sangat apik.
“3 bulan lagi,
teman-teman. Ada yang punya usul kita akan menampilkan apa tahun ini?” Bagus
berdiri di depan kelas. Aura bijaksana terasa kental di kelas.
“Aku rasa kita
harus membuat cerita yang benar-benar murni.” Arista mengucapkan pendapatnya
dengan lantang.
Kuliaht Jason
hanya memperhatikan dengan santai. “Kamu benar juga, Arista.” Kata Bagus.
“Bagaimana, teman-teman?”
Banyak yang
setuju dengan usulan Arista. Bisa kulihat senyum yang lebar terpatri di wajah
cantiknya. “Tapi, Bagus. Kita membuat cerita apa?”
“Bagaimana
kalau cerpen Nan saja.” Kella menyahut.
Apa? Cerpenku?
Bagaiamana mereka bisa tahu kalau aku menulis cerita pendek?
“Bagaimana,
Nan?”
“Boleh saja.”
Aku tersenyum gugup.
“Sekalian saja
kamu jadi penulis skenarionya. Kamu kan tahun lalu jadi yang terbaik untuk
penulis skenario.” Ujar Delion.
Aku menghela
nafas sejenak, lalu mengangguk. Tanda persetujuanku terhadap tawaran mereka.
Selanjutnya mereka memilih para kru drama. Agung menjadi sutradaranya kali ini.
Sehingga aku harus duduk berdua dengannya dan mendiskusikan jalannya cerita
yang langsung dihadiahi Jason dengan tatapan mengancam.
Akhirnya kami
sepakat memakai cerpenku yang berjudul “Apa yang salah?”. Ceritanya tentang
jaman penjajahan Belanda. Ada seorang pribumi yang bernama Sekar Dewi. Yatim
piatu yang kemudian bekerja sebagai pemetik teh. Hingga seorang Kompeni Belanda
bernama Christopher da Bosch menemukannya dalam keadaan pingsan di tengah kebun
teh. Kemudian mereka jatuh cinta. Tapi petuah dari orang tua Sekar Dewi adalah
“Jangan Pernah mencampurkan darahmu dengan orang-orang yang menyakiti bangsamu,
Nak” hal itulah yang membuat pertempuran batin di hati Sekar Dewi. Hingga
akhirnya ia menyerah ke dalam cinta kompeni itu.
Mereka sepakat
kalau Christopher akan diperankan oleh Jason, walaupun sempat menolak, aku
memaksanya. Merayunya kalau aku akan mengajaknya main ke rumahku lagi. Akhirnya
dengan senyum masam ia mau. Kemudian Amanda, perempuan tercantik di kelas
dipilih menjadi Sekar Dewi. Latihan dimulai besok sepulang sekolah. Sampai jam
4 sore. Setiap hari kecuali Minggu.
Aku punya
kebiasaan baru, pulang bersama Jason. Ia naik angkutan umum kalau pergi ke
sekolah. Jadi setelah mengantarku pulang, ia menunggu bus umum di jalan raya
dekat rumahku. Aneh, ada bule naik bus. Aku jadi geli sendiri membayangkan
Jason yang begitu menawan harus berdesakan di bus umum.
Hari ini
sepulang sekolah, kami latihan drama yang pertama kali. Agung agak kesulitan
mengarahkan Jason yang sengaja membuat dirinya tidak mengerti arahan Agung. Ia
langsung kupelototi, dan ia menggelengkan kepala dan menuruti kemauan Agung.
Naskah jadi lebih cepat dari yang seharusnya hingga hari ini kami bisa latihan.
Semua berjalan lancar sesuai rencana. Jam 4 sore kami pulang sesuai jadwal yang
sudah ditetapkan.
Sesuai janjiku
pada Jason. Hari ini ia akan berkunjung ke rumah. “Aku ganti baju dulu, kamu
tunggu dulu di teras.”
Ia tersenyum,
aku meninggalkannya berganti baju secepat yang aku bisa. Celana outdoor dan
kaus berwarna biru cerah. Kudengar ibu sedang bercakap-cakap dengan Jason.
Kemudian ibu masuk ke dalam. “Nan, ditunggu temenmu. Ibu kedalam aja ya.”
“Iya, Bu.”
“Apa yang akan
kita lakukan hari ini?” ia bertanay dengan nada yang lembut, membuatku serasa
melayang.
“Entahlah,
kita bisa bermain di lapangan belakang. Banyak anak-anak juga main di sana.”
Aku tersenyum lebar. Sepertinya mengajak Jason jalan-jalan ke lapangan dengan
cuaca cerah di sore hari adalah ide yang menyenangkan.
“Baiklah.” Ia
menggenggam tanganku, mengitari rumah menuju halaman belakang. Kami bercanda,
saling bertukar cerita. Menyenangkan sekali. Saat kulihat kerumunan anak sedang
bermian sepak bola ia nampak cukup senang. Kami duduk di bawah pohon keres.
Sambil memandangi anak-anak itu bermain bola.
Lengan Jason
meraihku kedalam pelukannya, yang langsung di sambut kegirangan oleh jantungku.
Hingga ia melepaskannya, seorang anak mungkin kelas 6 SD menghampiri kami sambil
membawa bola. “Maaf, Kak. Kami tidak sengaja. Kakak tidak apa-apa?” ia bertanya
dengan nada menyesal yang kentara. Aku baru sadar kalau tindakan Jason tadi
untuk melindungi kepalaku dari tendangan bola yang melenceng.
“Tidak
apa-apa.” Aku menjawab dengan senyuman tulus, meliaht penyesalannya.
“Bolehkah aku
ikut bermain, dulu aku anggota tim saat SD.” Jason bertanya pada anak itu.
“Tentu saja,
kami kurang 1 orang lagi.” Anak itu berkata dengan senyum merekah. “Aku Damar,
salam kenal.” Kemudian Damar meraih tangan besar Jason dan menyeretnya sambil
berlari ke tengah lapangan. Aku terperangah dengan kejadian barusan. Jason yang
mudah dicintai semua orang.
Melihat Jason
bermain dengan anak-anak itu membuatku nyaman. Aku sanagt suka Jason yang bebas
dan santai seperti ini. Jauh dari kesan yang buruk. Jauh dari sikapnya yang
tidak bersahabat. Dasinya dilepas, dan kemejanya sudah bernoda tanah. Tapi ia
seolah tidak peduli. Dan malah berlanjut mainnya.
Oh iya, tadi
di sekolah Casandra Cs seolah ketakutan ketika melihatku. Ada apa ya? Bukannya
kemarin mereka yang menjahiliku habis-habisan? Aneh sekali, tapi ya sudahlah.
Aku tidak peduli. Awalnya sangat disayangkan rambut panjangku terpotong, tapi
ketika Jason mengatakan aku cantik meski dengan rambut pendek. Seoalah rambut
cepak pun aku tidak peduli.
Ia
menghampiriku dengan rambut dan penampilan yang berantakan, namun tetap membuat
ppipiku memerah. Matahari sudah mulai terbenam. Aku rasa kami harus pulang
sebelum ibbuku berteriak-teriak.
“Ayo pulang.”
Aku bangkit dari tempatku duduk tadi.
“Hari sudah
mulai sore, aku benci berpisah denganmu.” Ucapnya serius.
“Besok pagi
kau bisa bertemu denganku. Kita menghabiskan waktu hamper 12 jam sehari dank au
berat tidak bertemu denganku? Astaga Jason, untuk seseorang yang cukup wow di
sekolah, kau cukup konyol.’ Aku tertawa. Hingga ia juga menyadari
kekonyolannya.
Akhirnya
aku dan Jason pulang. Ia dengan segala penampilan berantakan tapi menawan dan
aku yang biasa-biasa saja cukup membuat sakit hati. Setelah minta ijin pulang
kepada Ibuku. Aku mengantarnya ke jalan raya. Menunggu bus datang. Tapi ia
menyuruhku pulang saja. Aku menurutinya, walaupun jujur saja. Berpisah
dengannya juga tidak menyenangkan.
Tiga minggu
sudah berlalu, kami terus berlatih,
mencari keslahan yang mungkin bisa berakibat fatal keudian memperbaikinya.
Menambah efek-efek agar drama kami terkesan tidak membosankan. Semuanya
berjalan lancar. Semua efek itu dikerjakan oleh decorator dan penata panggung
kami yang handal Keenan. Anak itu jenius sekali dalam bidang seni.
Saat hari
berlalu dengan damai. Kabar buruk itu datang. Amanda kecelakaan. Kaki kiri dan
tangan kanannya patah. Ia didaulat tidak bisa berjalan selama 2 bulan kedepan.
Sementara kami semua kebingungan mencari pengganti Amanda.
“Maafkan aku,
kalau saja aku tidak nekat mendahului truk itu. Pasti aku masih bisa berlatih
bersama kalian.” Ia terisak-isak ketika kami sekelas mengunjunginya.
“Tidak
apa-apa, Amanda. Kami tidak menyalahkanmu, kamu tidak perlu meminta maaf.”
Keenan mengelus rambut Amanda. Kami yang melihat kejadian itu jadi curiga. Ada
sesuatu antara Keenan dan Amanda.
Esok harinya
kami berdebat siapa yang akan menggantikan Amanda. Sebenarnya Arista kandidat
terkuat setelah Amanda. Tapi ia menolak, “Aku tidak mau. Titik.” Ia bersikeras.
“Kalau begitu,
Nan saja bagaiman?” ujar Agung. Semua mata memandangku, awalnya hanya tatapan
terkejut. Kemudian tatapan penuh harap. “Ia pasti lebih bisa mendalami peran
Sekar Dewi, karena ia yang menciptakan karakter itu.” Ujar Agung bersemangat.
Jason menggenggam
erat tanganku. Ia berbisik di telingaku,”Penuhi saja keinginan mereka, Nan. Aku
tahu kamu mampu.”
“Baiklah
dengan satu syarat. Liburlah 2 hari untuk latihan. Karena aku memastikan diriku
tidak bisa hadir 2 hari itu.”
Seluruh kelas
bernafas lega. Akhirnya ada korban pengganti Amanda. Sialan. Bagaiamana ini?
Aku tidak bisa berakting. Apalagi acting menjadi perempuan yang lemah tapi
sebenarnya kkuat. Ini bukan aku yang kuat namun sebnarnya sangat rapuh. Jason
melihat wajahku yang khawatir.”Tenang, Nona. Tuan Jason akan membantumu.” Ia
tersenyum lembut. Aku hanya mengangguk. Enath apa yang akan terjadi. Aku tidak
pernah tahu.
No comments:
Post a Comment