Thursday, July 25, 2013

EPILOG CAPTURE HEART



EPILOG

Aku menulis cerita di sebuah catatan harian. Ini biasa kulakukan menjelang tidur. Namun hari ini cerita yang aku tulis lebih panjang daripada biasanya. Aku menoleh ke samping. Dia tertidur pulas sekali. Aku menutup catatanku kemudian bergelung di lengannya yang hangat.

Jason sangat peka. Sedikit sentuhan dan ia sudah terbangun. “Kau belum tidur?”
“Akan tidur.” Aku menguap. Kemudian ia berbalik dan mendekapku.
“Begini lebih baik kan?”
“Hm…” ia mengecup bibirku ringan.
“Sudah 2 tahun kita menikah. Dan Karin  sudah pandai mengganggu kita.” Ia terkekeh ketika membicarakan putri kami.
“Tapi dia anak yang manis.”
“Ya, manis seperti ibunya.” Wajahku bersemu merah.
“Kenapa pipimu tiba-tiba terasa hangat? Jangan-jangan pipimu merona.” Ia mengelusnya.
“Tidak  juga. Besok kita harus bangun pagi, bukan?”
“Ya, karena kita besok pergi menemui Ibu di Indonesia.”
“Kalau begitu kenapa kamu tidak berhenti menggodaku dan kita tidur saja?”
“Baiklah.” Ia merengkuhku kedalam pelukan yang lebih erat.” Selamat malam, sayang.”
Aku melayang-layang ketika bersama Jason. Selalu seperti itu setelah 8 tahun bersamanya. Ada rasa baru selain cinta. Perasaan sayang. Kedua rasa itu bertumbuh seiring waktu. Setelah sekian lama tak bertemu Jason, dan untungnya Tuhan mau berbaik hati mempertemukan kami kembali. Jason langsung membawaku pulang ke rumah tanpa memberiku kesempatan menjelaskan kepulanganku pada Hans. Ia langsung mengutarakan maksudnya untuk memilikiku pada ibu. Ibu hanya tersenyum dan mengangguk. Semudah itu.
Kurang dari sebulan ia sudah menkahiku. Aku jelas sangat bahagia.bagaimana mnugkin kamu tidak bahagia ketika seseorang yang kamu cintai akhirnya kamu miliki? Aku bersyukur di dalam hati. Hampir setiap hari aku bersyukur bisa mencintai orang seperti Jason.
Kami tiba di bandara, Karin ada dalam gendongan ayahnya. Ia memainkan rambut Jason. Aku di sebelah Jason tertawa memandangi dua orang yang sangat kucintai ini. “Papa…”
“Ya, sayang?” Karin hanya tertawa-tawa. Aku mengelus rambut cokelat bergelombangnya yang halus. Karin anak yang cantik. Tentu saja wajah rupawannya menurun dari Jason. Ia juga aktif. Dan sangat suka berbicara. Dia sangat senang ketika aku berbicara dalam Bahasa Indonesia. Meskipun kami menggunakan tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Belanda.
“Jason, menurutmu apakah kita tidak terlalu keterlaluan?”
“Memangnya kenapa?”
“Ibu, tipe orang yang tidak suka kejutan. Ia akan mengomel karena belum mempersiapkan segala sesuatu untuk kita.”
“Teanglah, ia tidak akan marah atau yang lain. Aku jamin.”
“Lalu apa jaminanmu?”
“Bagaimana kalau seorang adik untuk Karin?”
“Jason!” aku memukul lengannya, ia malah terkekeh geli. “Tidak adakah selain hal-hal mesum yang ada di kepalamu itu?”
“Sayangnya, jika bersamu. Mungkin otakku sedikit kotor.” Ia tertawa. Lalu mengecup dahi Karin.
“Kenapa kalian pulang tanpa memberi kabar? Aku kan belum membuatkan malaikat kecil ini kue dadar kesukaannya?” ibu menggeleng-gelengkan kepala. Kami menginap di hotel sebelum pulang ke rumah. Karena perjalanan yang melelahkan.
“Ibu kan bisa mengajaknya membuat kue dadar sama-sama.” Jason tersenyum lembut.
“Ide bagus. Sini sama nenek, sayang.” Ia mengambil Karin dalam gendonganku. “Kalian berdua, pergilah atau lakukan apapun asal jangan menggangguku.”
Kami berdua hanya tersenyum menyadari maksud ibu. “Bagaimana kalau kita pergi ke taman?” Jason merangkulkan tangannya ke pundakku. Entah sudah berhenti tumbuh atau apa, aku masih saja kalah jauh tinggi dari Jason.
“Baiklah, tunggu sebentar.” Aku pergi ke kamarku dulu, lalu mengambil kamera kesayanganku. “Aku siap untuk pergi.”
Ia menggandeng tanganku menuju mobil dan kami meluncur ke taman. Walau sudah bertahun-tahun taman ini tak banyak berubah kecuali cat bangku-bangku taman dan beberapa mainan anak-anak yang sudah diganti.
“Sudah lama aku tidak mengambil gambar di sini.”
“Ya. Sini kameranya.”
“Buat apa, aku mau memotret.”
“Sudahlah. Permisi, bisakah kami minta tolong?” ia menghampiri seorang laki-laki muda, umurnya sekitar 20 tahun.
“Tentu saja. Apakah anda ingin difoto?”
“Ya, saya dengan istri saya.”
“Kebetulan sekali, saya seorang fotografer.” Ia tersenyum lebar.
Kemudian ia mulai memainkan jemarinya di tomobol shutter dan mengatur perbesaran dan fokusnya. Setelah beberapa kali jepret ia menyerahkan kamrenya pada Jason, “Luar biasa, bagus sekali. Saya rasa foto sebagus ini layak dihargai tinggi.”
Pemuda itu tersenyum”Untuk kali ini tidak perlu, saya hanya ingin menolong. Dan anda berdua mengingatkan saya pada dua orang siswa SMA yang selau kencan di sini sepulang sekolah.” Ia tersenyumlebar. Aku dan Jason berpandangan.
“Kalau begitu terima kasih banyak.” Jason menyalaminya, kemudian pemuda itu pamit, karena harus menjemput seseorang.
“Aku rasa kita sudah jadi bahan pembicaraan orang-orang.” Aku menghela nafas, meminum air dari botol yang kubawa dari rumah.
“Mungkin. Tapi aku bahagia bisa bersamamu. Memulai hidup denganmu.” Ia tersenyum.
“Aku juga. Dan terima kasih sudah mewarnai hidupku yang abu-abu.”
“Sama-sama syang.’ Ia menciumku dengan sangat dalam sampai ketika akhirnya ciuman itu selesai nafasku megap-megap.
“Seharusnya aku lebih menahan diri saat ini.”
“Ya , aku harus.” Tapi aku tersenyum dan menciumnya. Jason agak terkejut mengingat setiap percintaan kami ia yang memulai, tapi kali ini aku yang mulai.
“Sayang, apakah sebaiknya kita pulang agar tidak melanggar norma?”
Aku tertawa, dan ia mengehelaku kedalam pelukannya. Mendekapku. Mataku terpejam bahagia disinari mentari senja.
Ini awal kisahku yang lain. Aku akan memulainya dengan cinta. Kisahku akan berakhir ketika kami sudah saatnya berpisah di dunia itu artinya kami akan berpisah sementara. Memohon kepada Tuhan agar mempetemukan kami di kehidupan yang abadi kelak.
Sekarang aku hanya ingin menikmati kebahagiaanku di dunia bersama Jason, suamiku, ayah anakku. Cintaku.

-The End-

No comments:

Post a Comment