EPILOG
Aku menulis cerita di sebuah catatan harian. Ini
biasa kulakukan menjelang tidur. Namun hari ini cerita yang aku tulis lebih
panjang daripada biasanya. Aku menoleh ke samping. Dia tertidur pulas sekali. Aku
menutup catatanku kemudian bergelung di lengannya yang hangat.
Jason sangat peka. Sedikit sentuhan dan ia
sudah terbangun. “Kau belum tidur?”
“Akan tidur.” Aku menguap. Kemudian ia
berbalik dan mendekapku.
“Begini lebih baik kan?”
“Hm…” ia mengecup bibirku ringan.
“Sudah 2 tahun kita menikah. Dan Karin sudah pandai mengganggu kita.” Ia terkekeh
ketika membicarakan putri kami.
“Tapi dia anak yang manis.”
“Ya, manis seperti ibunya.” Wajahku bersemu
merah.
“Kenapa pipimu tiba-tiba terasa hangat? Jangan-jangan
pipimu merona.” Ia mengelusnya.
“Tidak
juga. Besok kita harus bangun pagi, bukan?”
“Ya, karena kita besok pergi menemui Ibu di
Indonesia.”
“Kalau begitu kenapa kamu tidak berhenti
menggodaku dan kita tidur saja?”
“Baiklah.” Ia merengkuhku kedalam pelukan
yang lebih erat.” Selamat malam, sayang.”
Aku melayang-layang ketika bersama Jason. Selalu
seperti itu setelah 8 tahun bersamanya. Ada rasa baru selain cinta. Perasaan sayang.
Kedua rasa itu bertumbuh seiring waktu. Setelah sekian lama tak bertemu Jason,
dan untungnya Tuhan mau berbaik hati mempertemukan kami kembali. Jason langsung
membawaku pulang ke rumah tanpa memberiku kesempatan menjelaskan kepulanganku
pada Hans. Ia langsung mengutarakan maksudnya untuk memilikiku pada ibu. Ibu hanya
tersenyum dan mengangguk. Semudah itu.
Kurang dari sebulan ia sudah menkahiku. Aku jelas
sangat bahagia.bagaimana mnugkin kamu tidak bahagia ketika seseorang yang kamu
cintai akhirnya kamu miliki? Aku bersyukur di dalam hati. Hampir setiap hari
aku bersyukur bisa mencintai orang seperti Jason.
Kami tiba di bandara, Karin ada dalam
gendongan ayahnya. Ia memainkan rambut Jason. Aku di sebelah Jason tertawa
memandangi dua orang yang sangat kucintai ini. “Papa…”
“Ya, sayang?” Karin hanya tertawa-tawa. Aku mengelus
rambut cokelat bergelombangnya yang halus. Karin anak yang cantik. Tentu saja
wajah rupawannya menurun dari Jason. Ia juga aktif. Dan sangat suka berbicara. Dia
sangat senang ketika aku berbicara dalam Bahasa Indonesia. Meskipun kami
menggunakan tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Belanda.
“Jason, menurutmu apakah kita tidak terlalu
keterlaluan?”
“Memangnya kenapa?”
“Ibu, tipe orang yang tidak suka kejutan. Ia akan
mengomel karena belum mempersiapkan segala sesuatu untuk kita.”
“Teanglah, ia tidak akan marah atau yang
lain. Aku jamin.”
“Lalu apa jaminanmu?”
“Bagaimana kalau seorang adik untuk Karin?”
“Jason!” aku memukul lengannya, ia malah
terkekeh geli. “Tidak adakah selain hal-hal mesum yang ada di kepalamu itu?”
“Sayangnya, jika bersamu. Mungkin otakku
sedikit kotor.” Ia tertawa. Lalu mengecup dahi Karin.
“Kenapa kalian pulang tanpa memberi kabar? Aku
kan belum membuatkan malaikat kecil ini kue dadar kesukaannya?” ibu
menggeleng-gelengkan kepala. Kami menginap di hotel sebelum pulang ke rumah. Karena
perjalanan yang melelahkan.
“Ibu kan bisa mengajaknya membuat kue dadar
sama-sama.” Jason tersenyum lembut.
“Ide bagus. Sini sama nenek, sayang.” Ia mengambil
Karin dalam gendonganku. “Kalian berdua, pergilah atau lakukan apapun asal
jangan menggangguku.”
Kami berdua hanya tersenyum menyadari maksud
ibu. “Bagaimana kalau kita pergi ke taman?” Jason merangkulkan tangannya ke
pundakku. Entah sudah berhenti tumbuh atau apa, aku masih saja kalah jauh
tinggi dari Jason.
“Baiklah, tunggu sebentar.” Aku pergi ke
kamarku dulu, lalu mengambil kamera kesayanganku. “Aku siap untuk pergi.”
Ia menggandeng tanganku menuju mobil dan kami
meluncur ke taman. Walau sudah bertahun-tahun taman ini tak banyak berubah
kecuali cat bangku-bangku taman dan beberapa mainan anak-anak yang sudah
diganti.
“Sudah lama aku tidak mengambil gambar di
sini.”
“Ya. Sini kameranya.”
“Buat apa, aku mau memotret.”
“Sudahlah. Permisi, bisakah kami minta
tolong?” ia menghampiri seorang laki-laki muda, umurnya sekitar 20 tahun.
“Tentu saja. Apakah anda ingin difoto?”
“Ya, saya dengan istri saya.”
“Kebetulan sekali, saya seorang fotografer.” Ia
tersenyum lebar.
Kemudian ia mulai memainkan jemarinya di
tomobol shutter dan mengatur perbesaran dan fokusnya. Setelah beberapa kali
jepret ia menyerahkan kamrenya pada Jason, “Luar biasa, bagus sekali. Saya rasa
foto sebagus ini layak dihargai tinggi.”
Pemuda itu tersenyum”Untuk kali ini tidak
perlu, saya hanya ingin menolong. Dan anda berdua mengingatkan saya pada dua
orang siswa SMA yang selau kencan di sini sepulang sekolah.” Ia tersenyumlebar.
Aku dan Jason berpandangan.
“Kalau begitu terima kasih banyak.” Jason
menyalaminya, kemudian pemuda itu pamit, karena harus menjemput seseorang.
“Aku rasa kita sudah jadi bahan pembicaraan
orang-orang.” Aku menghela nafas, meminum air dari botol yang kubawa dari
rumah.
“Mungkin. Tapi aku bahagia bisa bersamamu. Memulai
hidup denganmu.” Ia tersenyum.
“Aku juga. Dan terima kasih sudah mewarnai
hidupku yang abu-abu.”
“Sama-sama syang.’ Ia menciumku dengan sangat
dalam sampai ketika akhirnya ciuman itu selesai nafasku megap-megap.
“Seharusnya aku lebih menahan diri saat ini.”
“Ya , aku harus.” Tapi aku tersenyum dan
menciumnya. Jason agak terkejut mengingat setiap percintaan kami ia yang
memulai, tapi kali ini aku yang mulai.
“Sayang, apakah sebaiknya kita pulang agar
tidak melanggar norma?”
Aku tertawa, dan ia mengehelaku kedalam
pelukannya. Mendekapku. Mataku terpejam bahagia disinari mentari senja.
Ini awal kisahku yang lain. Aku akan
memulainya dengan cinta. Kisahku akan berakhir ketika kami sudah saatnya
berpisah di dunia itu artinya kami akan berpisah sementara. Memohon kepada
Tuhan agar mempetemukan kami di kehidupan yang abadi kelak.
Sekarang aku hanya ingin menikmati
kebahagiaanku di dunia bersama Jason, suamiku, ayah anakku. Cintaku.
-The End-
No comments:
Post a Comment