BAB 5
Agak lucu
ketika kulihat Jason melemparkan tatapan tajam kepada Agung. Ia jadi lebih
posesif kepadaku. Tapi untungnya kejadian kemarin membuatku lebih sadar kepada
perasaanku. Mungkin ini cinta. Tapi aku belum yakin cinta seperti apakah ini?
Jika Jason
bukan satu-satunya, kenapa aku hanya merasakan kebahagiaan yang lain karena
dia? Jika bukan Jason, aku tak akan mengambil langkah yang berbeda. Dan ia
tidak akan menggenggam erat tanagnku jika dia bukan satu-satunya orang yang
kucintai dalam arti yang lain. Ya, aku secara sadar bahwa aku jatuh cinta.
Tapi, apakah
dia juga mengalami hal yang sama? Ia tidakpernah mengungkapkan nya? Hanya
tindakannya saja. Dan itu belum meyakinkan. Mungkin aku hanya akan menyimpan
rasa ini untukku sendiri.
Soal Agung,
etika aku berkata jujur bahwa hatiku sudah termiliki oleh orang lain. Ia
berbaik hati membiarkanku pergi dengan ringan. Tanpa perasaan bersalah. Agung
memang orang yang mudah disayangi dengan cara yang berbeda.
Dan
Camryn, enatahlah aku tidak terlalu peduli apakah dia mencintai Jason atau
tidak. Tapi aku peduli ketika Jason mencintainya. Yang tentu saja akan membuat hati
tersayat.
Musim ujian
akhir semester tinggal beberapa hari lagi. Kami berlatih tapi tidak terlalu
sering seperti dulu. Sekarang sedang sibuk-sibuknya belajar. Jason mengajariku
banyak hal. Ternyata tak hanya fisik, otaknya sangat cemerlang. Kupikir jurusan
social hanya membuat otaknya berkecimpung di ekonomi, geograsi, sosiolgi saja.
Tapi matematika, juga ia kuasai. Dan aku ragu tidak ada yang dia tidak bisa.
Saat ujian
dimulai seperti kebanyakan siswa lain. Aku juga harap-harap cemas. Tapi
untungnya tidak sesulit yang kubayangkan. Aku melewatinya dengan selamat.
Semoga saja. Kabar buruknya, panitia perlombaan mengumumkan bahwa pentas akan
dimajukan menjadi 3 hari setelah ujian. Dan ini cukup membuat kami kalang
kabut. Setelah ujian, seolah kami tak pernah pulang untuk berlatih. Adegan
adegan diperankan dengan semakin mantap. Property-properti juga hamper rampung.
Kami mengerjakannya di rumah Arista. Dengan halaman yang luas dan tentu saja
konsumsi gratis.
Tiba saatnya
pementasan. Drama dari kelas lain sangat bagus. Menurutku mereka semakin
innovative dari tahun ke tahun. Ceriatnya juga baru-baru. Bahkan ada yang
mementaskan drama a midsummer nightdream. Menurutku, genre kami yang paling
berbeda. Kami mengkombinasikan sejarah, budaya, nasionalisme, dan cinta.
Urutan
terakhir dan kami harus mampu membuat seluruh penonton yang sudah mengantuk
kembali bersemangat.
Adegan diawali
dengan perlawanan warga terhadap penjajah, dengan efek es kering dan
lampu-lampu. Adegan itu semakin terlihat nyata saja. Ketika perang telah
selesai dan penjajah menang. Di tengah kampong. Seorang gadis tenagh menangisi
jasad kedua orang tuanya.
“Aku berjanji,
Pak , Bu. Tak akan ada cinta untuk mereka. Meskipun jiwa dan ragaku mereka
siksa.”
Setelah itu
adegan berjalan dengan lancar. Kulihat dari balik panggug orang-orang itu
seakan terhipnotis. Di akhir adegan, Keenan bermain apik dengan cahaya. Sehingga
ketika Christopher menyelamatkan Sekar Dewi dari kobaran api pada saat Bandung
dibumi hanguskan benar-benar nyata. Penata kostum kami juga mempersiapkan baju
sesuai dengan setting drama.
Entahlah,
tidak ada ambisi untuk mendapatkan drama terbaik. Yang ada kami hanya ingin
menunjukkan bahwa kami bisa menggelar pertunjukkan yang luar biasa dan professional.
Dan yang
kudengar. Tepukan tangan yang begitu ramai. Siulan dari beberapa orang dan tentu
saja. Apa yang aku harapkan kalau bukan tatapan –kamu berhasil- dari Jason. Kami
sekelas berkumpul dibelakang panggung saling memberi selamat walaupun belum
pengumuman. Tapi kami senang atas penampilan total hari ini.
“Kata Papapku,
kita bisa makan-makan di rumahku. Karena kebetulan sedang ada acara keluarga,
tapi batal dan Mama sudah terlanjur masak banyak sekali.” Arista menawarkan
dengan wajah bahagia. Aku tahu ia bohong. Mungkin ia hanya ingin berbagi dengan
kami semua. Sungguh orang yang luar biasa.
Namanya juga
anak SMA ada saja kekonyolan yang kami buat. Mulai dari sungkan siapa yang mau
ngambil makan duluan, ngobrol saat makan, membuat lelucon. Malam itu kami bersenag-senang.
30 orang bisa menyatu itu sungguh suatu hal yang langka. Walaupun konflik
sering menyertai, tapi kami percaya. Kami ditakdirkan bersama sehingga kami
harus saling menyayangi.
“Wah, kalau
setiap hari kumpul pasti menyenangkan.” Aldo nyeletuk. “Apalagi Agung, pasti
terus senyum-senyum kalau ada Arista.”
“Yaelah, kamu
suka sama dia? Hati-hati saja, Ris. Si Agung ini ratu.. Eh salah Raja Buaya
Darat.” Yang langsung disambut gelak tawa kami semua. Untunglah dia sudah bisa
melepaskanku. Aku bertatapan dengan Jason. Tidak ada kelegaan disana. Ekspresinya
sama datar seperti biasanya.
“Dan kebetulan
sekali ada bule bisa membaur sama budaya kita.” Ujar Devid.
“Ia, benar. Sampai
sekolah ini kayak sekolah berbasis internasional, padahal Cuma sekolah biasa.”
“Hey.. Aku
juga punya darah Indonesia.” Ia memperingatkan dan tersenyum. Sangat minimalis
tapi membuat kami tetap saja tertawa karena sikapnya yang agak kaku. Tapi akhirnya
ia tertawa juga.
“Aku tidak
ingin berpisah dengan kalian. Tapi kenaikan kelas justru akan meencarkan kita.” Kata Bagus.
“Tak apa, kta
masih bisa bertemu kapanpun kita mau. Kalau perlu reuni disini saja setiap
tahun.”
Aku
mengamati mereka. Dalam sebuah senyum penuh kasih. Inilah persahabatan sejati. Tuhan,
berikanlah mereka kebahgiaan selalu. Karena mereka orang-orang yang aku
sayangi.
“Kami pulang
dulu.” Ujar Jason.
“Kami? Memangnya
kamu pulang sama siapa, Jason?
“Nan.” Jawabnya
singkat. Ia menarik lembut tanganku.
Semua pada
bengong. Memperhatikan kami seolah ada pohon tumbuh di rambutku. Dan langsung
saja pembuat banyolan nomor satu di dunia. Devid berkicau. “Ciyeeeeeeee… Ada
yang jadian nih.. hahahah” sontak saja semua juga menggoda kami. Tapi Jason
tersenyum. Ia meminta Arista untuk mengantarkan kami berpamitan pulang.
Di luar Jason mengeluarkan ponselnya. Semuanya ia katakan
dalam bahasa yang aneh. Tapi itu terdengar seperti bahasa Belanda. Setelah ia
mentup teleponnya, aku bertanya “Bahasa kamu aneh sekali, bahasa Belanda ya?”
“Mungkin.” Ia melirikku.
“Yang benar
saja.’ Aku memutar bola mataku, berlebay ria. Angin dingin membelai malam. Aku merapatkan
kedua tanganku ke leher. Berusaha menghangatkan diri. Kemudian Jason melepaskan
jaketnya menyelubungkan ke seluruh tubuhku. Dengan jaket sebesar itu, aku
merasa hangat.
“Tapi nanti
kamu yang kedinginan.” Aku berusaha melepaskan jaket itu, ttapi lengannya
menhanku membuat gerakan.
“Kau piker aku
lemah? Pakailah, aku tidak butuh. Tak lama kemudian sebuah mobil mewah yang aku
tidak tahu jenisnya berhenti tepat di hadapan kami. Jujur saja ku takut kalau
ada mantan Jason yang lain. Kemudian mencium Jason lagi. Tapi jika itu terjadi,
hidung mereka akan bengkok dalam sekejap mata. Tapi yang muncul bukanlah perempuan
atau apa. Tapi seorang lelaki asing berjas hitam dengan dasi kupu-kupu lucu di
lehernya.
Ia mempersilahkan
Jason masuk, kemudian Jason menghelaku kedalam mobil. “Aku tidak tahu kalau
kamu dijemput. Aku piker kita akan naik bus seperti biasanya.”
“Mungkin tidak
setiap hari. Aku naik bus hanya untuk kesenangan.”
“Apa? Memang apa
yang kau lihat di bus umum itu?” aku mulai berpikir dia seorang pelaku
pelecehan seksual dalambus umum.
“Hey, aku
bukan seperti apa yang kamu pikirkan, sayang.” Ya ampun kata-kata itu sudah
membuat debar jantungku meningkat.
“Apalagi yang
bisa dilihat kalau begitu?”
“Pemusik-pemusik
itu. Mereka sungguh luar biasa.”
“Yang biasa
mengamen di bus?” aku menyandarkan kepalaku ke bantalan mobil, tapi ia malah
menggeserku sehingga kepalaku ada di dadanya. Ya ampun, mimpi apa aku semalam? Aku
duduk di dalam pelukan Jason.
“Ya. Mereka memberiku
inspirasi untuk menulis beberapa lagu akhir-akhir ini.” Aku benar, dia hamper menguasai
semua bidang. Menyebalkan.
“Kurasa aku
harus mendengarnya. Bisa kau nyanyikan?” aku menguap lalu merapatkan diriku ke
badannya yang nyaman.
Jason mulai
bersenandung, lagunya sedih tapi, ada kebahagiaan disana. Aku berharap
kebahgaian Jason ada karena aku. Semakinlama aku semakin terbuai dengan
suaranya yang khas yang selalu membuat rona pipiku memerah, membuatku selalu
ingin mendengarnya setiap saat. Tak sadar bahwa aku telah tertidur dan masuk ke
dalam mimpi yang indah. Yang hanya ada aku dan Jason saja.
No comments:
Post a Comment