Saturday, July 13, 2013

CAPTURE HEART 5




BAB 5

Agak lucu ketika kulihat Jason melemparkan tatapan tajam kepada Agung. Ia jadi lebih posesif kepadaku. Tapi untungnya kejadian kemarin membuatku lebih sadar kepada perasaanku. Mungkin ini cinta. Tapi aku belum yakin cinta seperti apakah ini?

Jika Jason bukan satu-satunya, kenapa aku hanya merasakan kebahagiaan yang lain karena dia? Jika bukan Jason, aku tak akan mengambil langkah yang berbeda. Dan ia tidak akan menggenggam erat tanagnku jika dia bukan satu-satunya orang yang kucintai dalam arti yang lain. Ya, aku secara sadar bahwa aku jatuh cinta.
Tapi, apakah dia juga mengalami hal yang sama? Ia tidakpernah mengungkapkan nya? Hanya tindakannya saja. Dan itu belum meyakinkan. Mungkin aku hanya akan menyimpan rasa ini untukku sendiri.
Soal Agung, etika aku berkata jujur bahwa hatiku sudah termiliki oleh orang lain. Ia berbaik hati membiarkanku pergi dengan ringan. Tanpa perasaan bersalah. Agung memang orang yang mudah disayangi dengan cara yang berbeda.
Dan Camryn, enatahlah aku tidak terlalu peduli apakah dia mencintai Jason atau tidak. Tapi aku peduli ketika Jason mencintainya. Yang tentu saja akan membuat hati tersayat.
Musim ujian akhir semester tinggal beberapa hari lagi. Kami berlatih tapi tidak terlalu sering seperti dulu. Sekarang sedang sibuk-sibuknya belajar. Jason mengajariku banyak hal. Ternyata tak hanya fisik, otaknya sangat cemerlang. Kupikir jurusan social hanya membuat otaknya berkecimpung di ekonomi, geograsi, sosiolgi saja. Tapi matematika, juga ia kuasai. Dan aku ragu tidak ada yang dia tidak bisa.
Saat ujian dimulai seperti kebanyakan siswa lain. Aku juga harap-harap cemas. Tapi untungnya tidak sesulit yang kubayangkan. Aku melewatinya dengan selamat. Semoga saja. Kabar buruknya, panitia perlombaan mengumumkan bahwa pentas akan dimajukan menjadi 3 hari setelah ujian. Dan ini cukup membuat kami kalang kabut. Setelah ujian, seolah kami tak pernah pulang untuk berlatih. Adegan adegan diperankan dengan semakin mantap. Property-properti juga hamper rampung. Kami mengerjakannya di rumah Arista. Dengan halaman yang luas dan tentu saja konsumsi gratis.
Tiba saatnya pementasan. Drama dari kelas lain sangat bagus. Menurutku mereka semakin innovative dari tahun ke tahun. Ceriatnya juga baru-baru. Bahkan ada yang mementaskan drama a midsummer nightdream. Menurutku, genre kami yang paling berbeda. Kami mengkombinasikan sejarah, budaya, nasionalisme, dan cinta.
Urutan terakhir dan kami harus mampu membuat seluruh penonton yang sudah mengantuk kembali bersemangat.
Adegan diawali dengan perlawanan warga terhadap penjajah, dengan efek es kering dan lampu-lampu. Adegan itu semakin terlihat nyata saja. Ketika perang telah selesai dan penjajah menang. Di tengah kampong. Seorang gadis tenagh menangisi jasad kedua orang tuanya.
“Aku berjanji, Pak , Bu. Tak akan ada cinta untuk mereka. Meskipun jiwa dan ragaku mereka siksa.”
Setelah itu adegan berjalan dengan lancar. Kulihat dari balik panggug orang-orang itu seakan terhipnotis. Di akhir adegan, Keenan bermain apik dengan cahaya. Sehingga ketika Christopher menyelamatkan Sekar Dewi dari kobaran api pada saat Bandung dibumi hanguskan benar-benar nyata. Penata kostum kami juga mempersiapkan baju sesuai dengan setting drama.
Entahlah, tidak ada ambisi untuk mendapatkan drama terbaik. Yang ada kami hanya ingin menunjukkan bahwa kami bisa menggelar pertunjukkan yang luar biasa dan professional.
Dan yang kudengar. Tepukan tangan yang begitu ramai. Siulan dari beberapa orang dan tentu saja. Apa yang aku harapkan kalau bukan tatapan –kamu berhasil- dari Jason. Kami sekelas berkumpul dibelakang panggung saling memberi selamat walaupun belum pengumuman. Tapi kami senang atas penampilan total hari ini.
“Kata Papapku, kita bisa makan-makan di rumahku. Karena kebetulan sedang ada acara keluarga, tapi batal dan Mama sudah terlanjur masak banyak sekali.” Arista menawarkan dengan wajah bahagia. Aku tahu ia bohong. Mungkin ia hanya ingin berbagi dengan kami semua. Sungguh orang yang luar biasa.
Namanya juga anak SMA ada saja kekonyolan yang kami buat. Mulai dari sungkan siapa yang mau ngambil makan duluan, ngobrol saat makan, membuat lelucon. Malam itu kami bersenag-senang. 30 orang bisa menyatu itu sungguh suatu hal yang langka. Walaupun konflik sering menyertai, tapi kami percaya. Kami ditakdirkan bersama sehingga kami harus saling menyayangi.
“Wah, kalau setiap hari kumpul pasti menyenangkan.” Aldo nyeletuk. “Apalagi Agung, pasti terus senyum-senyum kalau ada Arista.”
“Yaelah, kamu suka sama dia? Hati-hati saja, Ris. Si Agung ini ratu.. Eh salah Raja Buaya Darat.” Yang langsung disambut gelak tawa kami semua. Untunglah dia sudah bisa melepaskanku. Aku bertatapan dengan Jason. Tidak ada kelegaan disana. Ekspresinya sama datar seperti biasanya.
“Dan kebetulan sekali ada bule bisa membaur sama budaya kita.” Ujar Devid.
“Ia, benar. Sampai sekolah ini kayak sekolah berbasis internasional, padahal Cuma sekolah biasa.”
“Hey.. Aku juga punya darah Indonesia.” Ia memperingatkan dan tersenyum. Sangat minimalis tapi membuat kami tetap saja tertawa karena sikapnya yang agak kaku. Tapi akhirnya ia tertawa juga.
“Aku tidak ingin berpisah dengan kalian. Tapi kenaikan kelas justru  akan meencarkan kita.” Kata Bagus.
“Tak apa, kta masih bisa bertemu kapanpun kita mau. Kalau perlu reuni disini saja setiap tahun.”
Aku mengamati mereka. Dalam sebuah senyum penuh kasih. Inilah persahabatan sejati. Tuhan, berikanlah mereka kebahgiaan selalu. Karena mereka orang-orang yang aku sayangi.
“Kami pulang dulu.” Ujar Jason.
“Kami? Memangnya kamu pulang sama siapa, Jason?
“Nan.” Jawabnya singkat. Ia menarik lembut tanganku.
Semua pada bengong. Memperhatikan kami seolah ada pohon tumbuh di rambutku. Dan langsung saja pembuat banyolan nomor satu di dunia. Devid berkicau. “Ciyeeeeeeee… Ada yang jadian nih.. hahahah” sontak saja semua juga menggoda kami. Tapi Jason tersenyum. Ia meminta Arista untuk mengantarkan kami berpamitan pulang.
Di luar  Jason mengeluarkan ponselnya. Semuanya ia katakan dalam bahasa yang aneh. Tapi itu terdengar seperti bahasa Belanda. Setelah ia mentup teleponnya, aku bertanya “Bahasa kamu aneh sekali, bahasa Belanda ya?”
“Mungkin.” Ia melirikku.
“Yang benar saja.’ Aku memutar bola mataku, berlebay ria. Angin dingin membelai malam. Aku merapatkan kedua tanganku ke leher. Berusaha menghangatkan diri. Kemudian Jason melepaskan jaketnya menyelubungkan ke seluruh tubuhku. Dengan jaket sebesar itu, aku merasa hangat.
“Tapi nanti kamu yang kedinginan.” Aku berusaha melepaskan jaket itu, ttapi lengannya menhanku membuat gerakan.
“Kau piker aku lemah? Pakailah, aku tidak butuh. Tak lama kemudian sebuah mobil mewah yang aku tidak tahu jenisnya berhenti tepat di hadapan kami. Jujur saja ku takut kalau ada mantan Jason yang lain. Kemudian mencium Jason lagi. Tapi jika itu terjadi, hidung mereka akan bengkok dalam sekejap mata. Tapi yang muncul bukanlah perempuan atau apa. Tapi seorang lelaki asing berjas hitam dengan dasi kupu-kupu lucu di lehernya.
Ia mempersilahkan Jason masuk, kemudian Jason menghelaku kedalam mobil. “Aku tidak tahu kalau kamu dijemput. Aku piker kita akan naik bus seperti biasanya.”
“Mungkin tidak setiap hari. Aku naik bus hanya untuk kesenangan.”
“Apa? Memang apa yang kau lihat di bus umum itu?” aku mulai berpikir dia seorang pelaku pelecehan seksual dalambus umum.
“Hey, aku bukan seperti apa yang kamu pikirkan, sayang.” Ya ampun kata-kata itu sudah membuat debar jantungku meningkat.
“Apalagi yang bisa dilihat kalau begitu?”
“Pemusik-pemusik itu. Mereka sungguh luar biasa.”
“Yang biasa mengamen di bus?” aku menyandarkan kepalaku ke bantalan mobil, tapi ia malah menggeserku sehingga kepalaku ada di dadanya. Ya ampun, mimpi apa aku semalam? Aku duduk di dalam pelukan Jason.
“Ya. Mereka memberiku inspirasi untuk menulis beberapa lagu akhir-akhir ini.” Aku benar, dia hamper menguasai semua bidang. Menyebalkan.
“Kurasa aku harus mendengarnya. Bisa kau nyanyikan?” aku menguap lalu merapatkan diriku ke badannya yang nyaman.
Jason mulai bersenandung, lagunya sedih tapi, ada kebahagiaan disana. Aku berharap kebahgaian Jason ada karena aku. Semakinlama aku semakin terbuai dengan suaranya yang khas yang selalu membuat rona pipiku memerah, membuatku selalu ingin mendengarnya setiap saat. Tak sadar bahwa aku telah tertidur dan masuk ke dalam mimpi yang indah. Yang hanya ada aku dan Jason saja.

No comments:

Post a Comment