Friday, July 12, 2013

CAPTURE HEART 4



BAB 4
           
            Mereka benar-benar menyiksaku. Mungkin aku seorang penulis yang baik. Tapi aku bukan aktris yang baik. Berbohong tentang hal kecil saja kadang aku ketahuan. Apalagi berakting di depan ratusan orang? Ini gila. Tentu saja. Selesai mengerjakan tugas aku menghadap ke cermin. Ada sebuah dialog yang sangat kuhafal. Aku mencoba membuat ekspresi wajahku menyatu dengan dialog itu.

            “Janjiku pada bangsaku yang telah mengikatku dalam janji tak terlanggar. Atau cintaku padamu, Christopher, yang telah memagut jiwaku bersamamu?” aku mencoba menampilkan wajah terapuh. Tapi.. Gagal.
Ya ampun, ini sangat susah. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak mungkin mengecewakan mereka. Aku mencoba berulang-ulang. Hingga Ibuku mengetuk pintuku. Bertanya ada ludruk apa di kamar. Bahkan ibuku melihatnya sebagai adegan lawak. Aku frustasi hingga akhirnya aku merebahkan diri di ranjang kecilku. Saat mengecek HP ku, ada sebuah pesan. Saat kubuka ternyata itu dari Agung. Ia mengatakan agar aku bersemangat. Kuabaikan pesan itu. Karena moodku benar-benar kacau. Andai saja ada Jason. Oh iya, Jason.
Aku mengambil ponsel lalu membalas terima kasih ke Agung kemudian mengrim pesan untuk Jason: Aku bingung. Ajari aku.
Tak lama setelah itu akupun tertidur. Lelah karena emosi yang terkuras seharian ini. Terlalu lelah untuk bermimpi. Sehingga aku benar-benar kehilangan kesadaran.
Bunyi alarm ponselku cukup membuatku bisa bangun pagi. Jam 5. Aku berdiam sejenak, mengumpulkan nyawa yang tercecer setelah tidur yang lelah kemarin malam. Saat kulihat ada balasan dari Jason semangatku naik seperti listrik tegangan tinggi. Tersenyum membaca pesannya : Apapun, Nona.
Sesuai permohonanku kepada teman-teman, 2 hari ini latihan di liburkan. Semenjak ada Jason, aku jadi punya teman untuk berbagi secara emosi. Mugkin semua kata-kata pedas dan tajamnya sudah satu paket dengan semua kebaikan hatinya padaku. Jadi aku sudah terbiasa.
Usai sekolah aku dan Jason pergi ke gedung sekolah lama. Ia berjanji akan mengajariku berakting. “Santai saja. Anggapalah kamu Sekar Dewi.”
“Aku bukan dia, aku yang memunculkan karakternya.”
“Memang Sekar Dewi itu seperti apa?” ia  melangkah ke balkon dan duduk di atasnya sambil memjamkan mata.
“Seorang perempuan Jawa yang menginjak dewasa, tapi sangat cerdas. Sayangnya kecerdasannya terkurung oleh adat yang mengekang dan penjajah yang tidak memberikan kesempatan dirinya untuk bersekolah.” Aku memandang ke langit mendung.
“Lalu?”
“Cintanya pada adat dan bangsa yang sedang terpuruk membuatnya tumbuh menjadi gadis yang kuat, namun sayangnya ketika kedua orang tua mereka meninggal karena system tanam paksa membuatnya menjadi seorang yang pendiam. Awalnya ia tinggal di rumah Bupati, sebagai pembantu, namun karena ia cerdas. Bupati itu mengijinkannya belajar bersama putrinya. Hingga akhirnya ia bertemu Christopher, kompeni Belanda. Mereka jatuh cinta tentu saja. Tapi janjinya untuk tak pernah memandang dengan indah penjajah mereka membuatnya berusaha membuang cintanya untuk Christopher…”
“Tapi ia akhirnya menyerah karena cinta yang terus membuainya.” Ia menghela nafas melanjutkan setiap kata-kataku.
“Ya.”
“Itu tidak jauh beda seperti dirimu, Nan.” Ia membuka matanya menatap mataku dalam-dalam.
“Aku dan dia sangat berbeda Jason. Aku menciptakan karakter selalu berbalik dengan sifatku.” Aku bersikeras.
“Nan, aku sangat mengenal dirimu. Pertama kali aku menatapmu, aku sudah mengenalmu. Sekarang, yakinkan aku kalau kamu mencintaiku.” Ia berjalan ke arah aku duduk.
“Tidak bisa, aku tidak mencintaimu.” aku menggeleng.
“Ya, kamu mencintaiku. Lebih dari apapun di dunia ini, Nan.” Oke, sekarang ia semkin mendekat.
“Tidak, Jason.” Aku menggeleng semakin kuat. Bagus, wajahnya ada di depanku, menatapku dengan pandangan yang aneh. sekarang, aku mengkerut di hadapannya.  “Bagaimana aku bisa mencintaimu? Katakan padaku?” entah ada apa, sepertinya aku menagis. Menilik pipiku tiba-tiba terasa basah. Aku menyayanginya, tentu saja. Tetapi apakah ini cinta? Aku ragu, aku ragu… mungkin ini yang dirasakan Sekar Dewi. Ia ragu antara terus memanggul janjinya yang terasa berat oleh cinta Christopher, atau mengingkari janjinya dan terjun bebas ke dalam cinta Christopher.
“Kamu berhasil, kamu bisa Nan.” Tiba-tiba ia tersenyum. Apa? Apa yang barusan Jason katakan?
“Apa?” aku mengelap pipiku dengan punggung tanganku sambil terus melemparkan pandangan penuh tanya. Dan aku tersadar, ia membawaku larut dalam emosi Sekar Dewi. Bukan aku yang berhasil, tapi Jason. Ia membuatku memahami karakterku sendiri.
“Ya, Nan. Kita berhasil.’ Ia merengkuhku, lalu mengangkatku dengan mudahnya, memutar-mutar tubuhku. “Selanjutnya kamulah yang harus mampu menyihir kami semua.”
“Turunkan aku, Jason.’ Aku mengancamnya dan tertawa bersamanya. Sungguh saat yang menyenangkan, bisa menyayangi seseorang dengan tulus seperti ini.

Latihan kembali dimulai, wajah mereka tegang semua ketika giliranku membacakan dialog.
“Aku berjanji, rasa benci ini akan selamanya tertanam di hatiku.” Aku mengucapkannya seolah mereka benar-benar menjajahku saat itu, dengan kebencian yang menguar dari rona mataku.
“Bravo..!!” Agung bertepuk tangan dengan kencang yang diikuti oleh teman-teman yang lain. “Kami tidak menyangka kalau kamu bisa berperan dengan begitu bagus, Nan.’
“Iya, Nan. Pertahankan ya.” Ujar Diana dan Arista.
Seusai latihan Jason katanya ingin ke rumahku dulu, ia menagih janji minum Es Jeruk karena sudah berhasil membantuku memahami Sekar Dewi. “Aku jelas akan menagih hutangmu, Nan.”
“Baiklah..Baiklah.” aku memasang wajah cemberut, walau di dalam hatiku aku tersenyum senang. Ketika kami sedang berada di jalan yang agak sepi, sebuah mobil mewah berwarna merah cerah mendekat. Kami berhenti menunggu apakah pengemudinya ada perlu dengan kami.
Tapi yang terbuka pintu belakang, seorang wanita muda yang luar biasa cantik. Kelihatannya orang asing keluar. Ia menghampiri kami, tapi tatapan matanya terarah pada Jason. Jelas mengabaikan keberadaanku. Hingga kusadari apa yang di lakukan perempuan itu, ia mencium bibir Jason. Perasaan aneh menguar dai hatiku, tanganku mengepal seolah ada bahaya yang sedang mengintaiku. Lalu aku menemukan sebuah alas an untuk marah. Ini tempat umum, ada aku disini, berani-beraninya mereka berciuman di depanku. Tapi, apa hakku membenci dua orang yang saling mencintai melepas rindu dengan cara mereka. Aku tidak boleh memandang suatu permasalahan dari diriku saja. Tapi tetap saja, Jason kurang ajar.
Aku berlari meninggalkan dua sejoli yang sedang asyik bermesraan di sana. “Nan.. Tunggu! Ini tidak seperti yang kamu kira, Nan!” aku mendengar Jason berteriak-teriak di belakang-untungnya jalanan sepi,aku membayangkan ini jadi seperti sinetron saja- saat aku menoleh ke belakang kulihat Jason mulai bisa menyusulku. Aku teringat jalan kucing di sebelah rumah besar dekat sini, aku menambah kecepatanku. Jalan itu terlihat, aku membelok kesana , aku berharap Jason tidak bisa menemukanku.
Aku tiba di lapangan belakang rumah. Nafasku terasa berat. Aku berhenti di salah satu sudutnya. Sepertinya bukan hanya nafasku yang berat, tapi juga mataku.ya ampun, dalam kurun waktu beberapa bulan aku sudah menjadi seseorang yang cengeng. Tapi aku juga tidak bisa jadi orang yang masa bodoh juga.
Aku menghilangkan jejak tangisanku agar tidak disambut dengan berbagai pertanyaan dari Ibu. Tiba di rumah, aku langsung menuju kamar mandi. Sepertinya mandi solusi yang tepat untuk mendinginkan kepala.
Pikiranku menjadi lebih tenang, tapi rasa tercabik itu masih terasa, bahkan seolah tidak akan hilang. Ada apa sebenarnya ini? Pikiranku berputar mencoba mencari cara agar rasa ini sedikit teralihkan paling tidak. Televisi mungkin bisa membantu. Tapi ternyata salah. Mereka justru membuatku teringat kejadianitu. Aku kesal dan membanting remotenya. Kemudian kembali ke kamar dan tidur. Masa bodoh jam 6 sudah tidur.
3 hari belakangan ini Jason tidak masuk sekolah. Untunglah, aku tidak perlu repot menghindar darinya. Tapi latihan tetap berlanjut. Semua tidak khawatir ketika ia tidak bisa datang latihan, semua orang bilang aktingnya sempurna. Tidak usah latihan pasti sudah bagus. Dasar. Aku lebih sering berdiskusi dengan Agung masalah drama.
“Bagaimana kamu bisa menghayati peran itu dengan begitu bagus?” tanya Agung ketika kami pergi ke kantin.
“Entahlah, Jason mengajariku.” Agak kesulitan mengucapkan namanya.
“Padahal aku yakin, kamu belum tentu bisa mengekspresikan Sekar Dewi, karena ia tokoh yang sulit dipahami.” Ia tersenyum.
‘Begitulah.’
“Nan, ayo ke took buku. Ada beberapa buku yang harus ku beli. Barangkali kamu mau ikut?” ia menatapku, sedikit ragu ketika mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya.
Ke toko buku? Kenapa tidak? “Aku mau, kapan?” tanyaku bersemangat.
“Besok sore sepulang latihan. Aku bisa menunggumu berganti baju lalu kita bisa pergi.’
“Tidak usah, kita langsung saja.”
Mungkin pergi bersama seorang teman akan menghilangkan perasaan aneh ini. Aku sudah tidak sabar menenggelamkan diriku bersama buku-buku itu. Kebetulan yang sangat langka, tabunganku untuk membeli buku sudah lebih dari cukup.
“Ayo, Nan.” Agung termasuk anak orang kaya di sekolah. Ia ke sekolah membawa mobil setiap hari. Jadi aku pergi ke toko buku naik mobilnya. Ada yang aneh hari itu. Tatapan mata Agung, tidak seperti biasanya. Tapi aku tidak tahu maksudnya.
Sampai di toko buku aku langsung menghambur ke bagian sastra. Dan Agung entah kemana. Kurasa Agung sudah mendapatkan buku-bukunya. Kami membayar ke kasir.
“Yang itu jadi satu sama saya saja, Mbak.” Aku menoleh ke arahnya.
“Ya ampun, aku bisa bayar sendiri, Agung.”
“Tidak apa-apa, Nan. Sekali-kali apa tidak boleh?” ia tersenyum.
Ia membayar semua bukuku. Wah baik hati sekali orang ini. “Makan dulu, ya? Aku lapar sekali.”
“Boleh, tapi kali ini aku yang traktir.” Aku bersikeras.
“Boleh, kamu mau makan dimana?” tanyanya.
“Kafe dekat sini. Mereka jual makanan enak.” Mengikuti arahanku, kami tiba tanpa tersesat. Aku memsan makanan kesukaanku, Tomato Rice dan segelas jus jeruk. Sedangkan Agung hanya memesan Kebab dan segelas kopi.
“Aku tidak tahu ada Kafe di sini, setahuku hanya beberapa restoran cepat saji..”
“Berpetualanglah, Kawan.’ Aku nyengir kepadanya.
“Nan, ada sesuatu yang harus bicarakan padamu. Tapi habiskan dulu makananmu.”
Aku hanya mengangguk lalu mulai menyantap makananku, tentu saja aku berpikir apa yang akan dibicarakannya. Tentu sesuatu yang penting. tapi apa? Semua makanan itu tandas olehku.
“Untuk seorang perempuan porsi makanmu lebih besar.” Ia tersenyum lembut.
“Ya, agak memalukan memang.” Aku menunduk malu. Tiba-tiba saja Agung meraih tanganku. Aku menatapnya bingung.
“Nan, mungkin sudah sejak lama. Tapi maafkan aku baru mengungkapkannya sekarang.”
“Ada apa, Gung?” aku semakin bingung dengan perkataannya.
“Nan, aku saying kamu..”
Apa? Agung barusan bilang.. Ia menyangiku? Tapi kenapa? Kenapa harus Agung yang mengatakannya kepadaku kenapa bukan dia? Andai saja, aku menyayanginya juga dengan cara yang sama. Tapi aku tidak. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi Arista, Diana, Kella, Bagus, dan teman-teman yang lain. Aku menatapnya, kepalaku menggeleng. Hanya rasa pedih yang kuberikan untuknya saat itu. “Tidak, Agung. Aku tidak bisa. Maafkan aku…”
“Karena Jason?”
“Bukan, sejak awal aku memang belum jatuh cinta pada siapapun.” Aku mengakuinya. Tapi benarkah?
“Kalau begitu, Nan. Aku akan terus berusaha agar hatimu termiliki olehku.” Ia tersenyum, walaupun ada kekecewaan di sana.
“Maafkan aku..” sekali lagi aku berucap. Baru kali ini ada seseorang yang menyatakan cinta padaku. Dan itu sahabatku sendiri.
“Setidaknya beri aku kesempatan, Nan. Kamu mau kan?”
Aku menghela nafas. Tidak apa mungkin memberinya kesempatan. Mungkin itu sedikit mengobati rasa sakit yang telah kubuat untuknya. “Ya.”
“Terima kasih, Nan.”
Aku memberikannya senyumku yang paling tulus. Di mobil kami agak canggung awalnya, tapi Agung dengan segala pesonanya mampu membuat suasana menjadi lebih hangat.
Ibu tidak begitu terkejut aku pulang agak malam karena aku sudah meminta ijin tadi pagi. Ia hanya terkejut karena yang pulang bersamaku bukan Jason.
“Biasanya kamu pulang dengan Jason, kenapa sekarang sama teman yang lain?”
“Sekali-kali bergau sama orang lain, Bu.” Jawabku sekenanya, aku merebahkan diri di sofa ruang tamu. Merasa suntuk sekali.
“Kalian bertengkar ya? Ada masalah apa sebenarnya? Barangkali ibu bisa bantu.”
“Tidak ada apa-apa, Bu. Jason sedang tidak masuk, kebetulan temanku itu mau ke tempat yang sama denganku. Itu saja.”
Aku mengabaikan Ibuku yang menatapku dengan pandangan geli. Ibu yang aneh. Untungnya besok hari Minggu. Aku mau tidur sampai siang saja.
“Nan, bangun. Mau tidur sampai jam berapa kamu?”
“Jam 11 deh bu. Nan ngantuk sekali.”
“Perawan macam apa kamu bangun jam segitu? Ada Jason di luar.”
Kenapa orang menyebalkan itu harus datang ke rumah. Mengganggu tidur orang saja. “ Iya, Bu. Nan sikat gigi dulu.”
Dengan langkah berat aku menuju kamar mandi. Menyikat gigi sekenanya dan mencuci muka hanya dengan air dingin. Di teras ada Jason dengan tampilan seperti model-model yang aku lihat di peragaan busana di New York. Dan aku sangat kusut di semua sisinya.
“Ada apa? Mengganggu tidurku saja.” Aku duduk di sebelahnya. Biar saja badanku masih bau. Salah sendiri menemui orang yang baru bangun tidur.
“Aku hanya ingin menjelaskan, Nan. Tentang Camryn..”
“Ah iya, pacar kamu itu ya?” aku memutar bola mataku dengan dramatis. “Kita ke lapangan saja.”
Aku diam saja sepanjang jalan. Bertingkah cuek. Seolah aku tidak peduli pada Jason. Padahal aku begitu merindukannya. Melihatnya tadi sedikit menutup luka di dadaku. “Nan, dia memang kekasihku. Tapi itu dulu..”
“Kalau dulu kenapa sekarang masih mesra sekali ya? Oh iya lupa, cinta lama bersemi kembali kan masih ada.” Kenapa dari tadi aku mendramatisir semua ucapanku padanya? Ya ampun, Jason. Sungguh bukan itu yang ingin kuucapkan.
“Nan, jangan potong ucapanku.” Suaranya begitu tenang, namun sungguh dingin hingga aku agak gemetaran. Aku mentapnya dengan malas.
“Tidak, Nan. Apapun itu cintaku untuk Camryn sudah mati.”
“Lalu kenapa kalian berciuman? Sepertinya kamu menikmatinya.” Aku menundukkan wajah. Malu sekali mengatakan itu.
“Tidak seperti yang kamu lihat. Boleh percaya atau tidak.” Ia mencengkeram kedua lenganku, wajahnya mendekatiku. “Maafkan aku karena harus membuatmu berada dalam situasi yang tidak mengenakkan.” Ia kemudian memelukku. Pelukan hangat yang lain, kali ini seperti ia ingin meremukkan seluruh tubuhku karena pelukannya. Tapi tidak terasa sakit sama sekali.
“Ya, Jason.” Lama sekali kami berpelukan.
“Aku piker kamu cemburu pada Camryn saat itu.” Ia meraih wajahku memaksaku menatapnya. Mendapati sinar menggoda di mata kelabunya.
“Siapa yang cemburu?” wajahnya menjadi lebih dekat, seperti akan menciumku. Tapi bibirnya mendarat di hidungku, ia mengecupnya lembut. Tentu saja wajahku memerah.
“Hm.. Benarkah?” ia masih memelukku.
“Jason, ada satu hal yang harus kuberitahu kepadamu.” Aku menelan ludah dengan susah payah.
“Agung menyatakan cinta padaku.” Aku mengatakan setiap suku katanya dengan hati-hati.
Tubuhnya agak menegang memelukku. Kemudian berangsur rileks. “Sudah kuduga. Bilang padanya.”
“Apa?”
“Kalau mau mendapatkanmu, langkahi dulu mayatku.” Ia makin mempererat pelukannya.
“Tapi aku memberinya kesempatan.”
“Tidak boleh, Nan. Kamu milikku.” Ia mengucapkannya dengan keyakinan yang dalam. Membuatku berbunga-bunga. Melayang ke langit entah yang keberapa, aku tidak merasakan tanah yang kupijak karena sepenuh diriku bergantung padanya.
Apakah ini cinta? Ini yang orang sebut-sebut itu? Bahkan lebih memabukkan, membuatku kecanduan luar biasa. Ini lebih dari sekedar emosi. Ini lebih dari ketertarikan sesaat. Ini menakjubkan.. dan aku menyukainya.
“Kalau begitu, kamu juga tidak boleh dengan Camryn.” Aku bernafas pelan.
“Kenapa?” ia bertanya dengan nada menggoda. Aku meraih pipinya. Halus bagai pualam. Dengan potongan tegas di setiap sisi.
“Karena kamu milikku.” Demi apapun, darimana aku bisa berkata seberani itu?
“Ya, Nan. Sayangku..”

No comments:

Post a Comment