BAB 4
Mereka
benar-benar menyiksaku. Mungkin aku seorang penulis yang baik. Tapi aku bukan
aktris yang baik. Berbohong tentang hal kecil saja kadang aku ketahuan. Apalagi
berakting di depan ratusan orang? Ini gila. Tentu saja. Selesai mengerjakan
tugas aku menghadap ke cermin. Ada sebuah dialog yang sangat kuhafal. Aku
mencoba membuat ekspresi wajahku menyatu dengan dialog itu.
“Janjiku
pada bangsaku yang telah mengikatku dalam janji tak terlanggar. Atau cintaku
padamu, Christopher, yang telah memagut jiwaku bersamamu?” aku mencoba
menampilkan wajah terapuh. Tapi.. Gagal.
Ya ampun, ini
sangat susah. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak mungkin mengecewakan
mereka. Aku mencoba berulang-ulang. Hingga Ibuku mengetuk pintuku. Bertanya ada
ludruk apa di kamar. Bahkan ibuku melihatnya sebagai adegan lawak. Aku frustasi
hingga akhirnya aku merebahkan diri di ranjang kecilku. Saat mengecek HP ku,
ada sebuah pesan. Saat kubuka ternyata itu dari Agung. Ia mengatakan agar aku
bersemangat. Kuabaikan pesan itu. Karena moodku benar-benar kacau. Andai saja
ada Jason. Oh iya, Jason.
Aku mengambil
ponsel lalu membalas terima kasih ke Agung kemudian mengrim pesan untuk Jason: Aku bingung. Ajari aku.
Tak lama
setelah itu akupun tertidur. Lelah karena emosi yang terkuras seharian ini.
Terlalu lelah untuk bermimpi. Sehingga aku benar-benar kehilangan kesadaran.
Bunyi alarm
ponselku cukup membuatku bisa bangun pagi. Jam 5. Aku berdiam sejenak,
mengumpulkan nyawa yang tercecer setelah tidur yang lelah kemarin malam. Saat
kulihat ada balasan dari Jason semangatku naik seperti listrik tegangan tinggi.
Tersenyum membaca pesannya : Apapun,
Nona.
Sesuai
permohonanku kepada teman-teman, 2 hari ini latihan di liburkan. Semenjak ada
Jason, aku jadi punya teman untuk berbagi secara emosi. Mugkin semua kata-kata
pedas dan tajamnya sudah satu paket dengan semua kebaikan hatinya padaku. Jadi
aku sudah terbiasa.
Usai sekolah
aku dan Jason pergi ke gedung sekolah lama. Ia berjanji akan mengajariku
berakting. “Santai saja. Anggapalah kamu Sekar Dewi.”
“Aku bukan
dia, aku yang memunculkan karakternya.”
“Memang Sekar
Dewi itu seperti apa?” ia melangkah ke
balkon dan duduk di atasnya sambil memjamkan mata.
“Seorang
perempuan Jawa yang menginjak dewasa, tapi sangat cerdas. Sayangnya kecerdasannya
terkurung oleh adat yang mengekang dan penjajah yang tidak memberikan
kesempatan dirinya untuk bersekolah.” Aku memandang ke langit mendung.
“Lalu?”
“Cintanya pada
adat dan bangsa yang sedang terpuruk membuatnya tumbuh menjadi gadis yang kuat,
namun sayangnya ketika kedua orang tua mereka meninggal karena system tanam
paksa membuatnya menjadi seorang yang pendiam. Awalnya ia tinggal di rumah
Bupati, sebagai pembantu, namun karena ia cerdas. Bupati itu mengijinkannya
belajar bersama putrinya. Hingga akhirnya ia bertemu Christopher, kompeni
Belanda. Mereka jatuh cinta tentu saja. Tapi janjinya untuk tak pernah
memandang dengan indah penjajah mereka membuatnya berusaha membuang cintanya
untuk Christopher…”
“Tapi ia
akhirnya menyerah karena cinta yang terus membuainya.” Ia menghela nafas
melanjutkan setiap kata-kataku.
“Ya.”
“Itu tidak
jauh beda seperti dirimu, Nan.” Ia membuka matanya menatap mataku dalam-dalam.
“Aku dan dia
sangat berbeda Jason. Aku menciptakan karakter selalu berbalik dengan sifatku.”
Aku bersikeras.
“Nan, aku
sangat mengenal dirimu. Pertama kali aku menatapmu, aku sudah mengenalmu.
Sekarang, yakinkan aku kalau kamu mencintaiku.” Ia berjalan ke arah aku duduk.
“Tidak bisa,
aku tidak mencintaimu.” aku menggeleng.
“Ya, kamu
mencintaiku. Lebih dari apapun di dunia ini, Nan.” Oke, sekarang ia semkin
mendekat.
“Tidak,
Jason.” Aku menggeleng semakin kuat. Bagus, wajahnya ada di depanku, menatapku
dengan pandangan yang aneh. sekarang, aku mengkerut di hadapannya. “Bagaimana aku bisa mencintaimu? Katakan
padaku?” entah ada apa, sepertinya aku menagis. Menilik pipiku tiba-tiba terasa
basah. Aku menyayanginya, tentu saja. Tetapi apakah ini cinta? Aku ragu, aku
ragu… mungkin ini yang dirasakan Sekar Dewi. Ia ragu antara terus memanggul
janjinya yang terasa berat oleh cinta Christopher, atau mengingkari janjinya
dan terjun bebas ke dalam cinta Christopher.
“Kamu
berhasil, kamu bisa Nan.” Tiba-tiba ia tersenyum. Apa? Apa yang barusan Jason
katakan?
“Apa?” aku
mengelap pipiku dengan punggung tanganku sambil terus melemparkan pandangan
penuh tanya. Dan aku tersadar, ia membawaku larut dalam emosi Sekar Dewi. Bukan
aku yang berhasil, tapi Jason. Ia membuatku memahami karakterku sendiri.
“Ya, Nan. Kita
berhasil.’ Ia merengkuhku, lalu mengangkatku dengan mudahnya, memutar-mutar
tubuhku. “Selanjutnya kamulah yang harus mampu menyihir kami semua.”
“Turunkan
aku, Jason.’ Aku mengancamnya dan tertawa bersamanya. Sungguh saat yang
menyenangkan, bisa menyayangi seseorang dengan tulus seperti ini.
Latihan
kembali dimulai, wajah mereka tegang semua ketika giliranku membacakan dialog.
“Aku berjanji,
rasa benci ini akan selamanya tertanam di hatiku.” Aku mengucapkannya seolah
mereka benar-benar menjajahku saat itu, dengan kebencian yang menguar dari rona
mataku.
“Bravo..!!”
Agung bertepuk tangan dengan kencang yang diikuti oleh teman-teman yang lain.
“Kami tidak menyangka kalau kamu bisa berperan dengan begitu bagus, Nan.’
“Iya, Nan.
Pertahankan ya.” Ujar Diana dan Arista.
Seusai latihan
Jason katanya ingin ke rumahku dulu, ia menagih janji minum Es Jeruk karena
sudah berhasil membantuku memahami Sekar Dewi. “Aku jelas akan menagih
hutangmu, Nan.”
“Baiklah..Baiklah.”
aku memasang wajah cemberut, walau di dalam hatiku aku tersenyum senang. Ketika
kami sedang berada di jalan yang agak sepi, sebuah mobil mewah berwarna merah
cerah mendekat. Kami berhenti menunggu apakah pengemudinya ada perlu dengan
kami.
Tapi yang
terbuka pintu belakang, seorang wanita muda yang luar biasa cantik.
Kelihatannya orang asing keluar. Ia menghampiri kami, tapi tatapan matanya
terarah pada Jason. Jelas mengabaikan keberadaanku. Hingga kusadari apa yang di
lakukan perempuan itu, ia mencium bibir Jason. Perasaan aneh menguar dai
hatiku, tanganku mengepal seolah ada bahaya yang sedang mengintaiku. Lalu aku
menemukan sebuah alas an untuk marah. Ini tempat umum, ada aku disini,
berani-beraninya mereka berciuman di depanku. Tapi, apa hakku membenci dua
orang yang saling mencintai melepas rindu dengan cara mereka. Aku tidak boleh
memandang suatu permasalahan dari diriku saja. Tapi tetap saja, Jason kurang
ajar.
Aku berlari
meninggalkan dua sejoli yang sedang asyik bermesraan di sana. “Nan.. Tunggu!
Ini tidak seperti yang kamu kira, Nan!” aku mendengar Jason berteriak-teriak di
belakang-untungnya jalanan sepi,aku membayangkan ini jadi seperti sinetron
saja- saat aku menoleh ke belakang kulihat Jason mulai bisa menyusulku. Aku
teringat jalan kucing di sebelah rumah besar dekat sini, aku menambah
kecepatanku. Jalan itu terlihat, aku membelok kesana , aku berharap Jason tidak
bisa menemukanku.
Aku tiba di
lapangan belakang rumah. Nafasku terasa berat. Aku berhenti di salah satu
sudutnya. Sepertinya bukan hanya nafasku yang berat, tapi juga mataku.ya ampun,
dalam kurun waktu beberapa bulan aku sudah menjadi seseorang yang cengeng. Tapi
aku juga tidak bisa jadi orang yang masa bodoh juga.
Aku
menghilangkan jejak tangisanku agar tidak disambut dengan berbagai pertanyaan
dari Ibu. Tiba di rumah, aku langsung menuju kamar mandi. Sepertinya mandi
solusi yang tepat untuk mendinginkan kepala.
Pikiranku
menjadi lebih tenang, tapi rasa tercabik itu masih terasa, bahkan seolah tidak
akan hilang. Ada apa sebenarnya ini? Pikiranku berputar mencoba mencari cara
agar rasa ini sedikit teralihkan paling tidak. Televisi mungkin bisa membantu.
Tapi ternyata salah. Mereka justru membuatku teringat kejadianitu. Aku kesal
dan membanting remotenya. Kemudian kembali ke kamar dan tidur. Masa bodoh jam 6
sudah tidur.
3 hari
belakangan ini Jason tidak masuk sekolah. Untunglah, aku tidak perlu repot
menghindar darinya. Tapi latihan tetap berlanjut. Semua tidak khawatir ketika
ia tidak bisa datang latihan, semua orang bilang aktingnya sempurna. Tidak usah
latihan pasti sudah bagus. Dasar. Aku lebih sering berdiskusi dengan Agung
masalah drama.
“Bagaimana
kamu bisa menghayati peran itu dengan begitu bagus?” tanya Agung ketika kami
pergi ke kantin.
“Entahlah,
Jason mengajariku.” Agak kesulitan mengucapkan namanya.
“Padahal aku
yakin, kamu belum tentu bisa mengekspresikan Sekar Dewi, karena ia tokoh yang
sulit dipahami.” Ia tersenyum.
‘Begitulah.’
“Nan, ayo ke
took buku. Ada beberapa buku yang harus ku beli. Barangkali kamu mau ikut?” ia
menatapku, sedikit ragu ketika mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya.
Ke toko buku?
Kenapa tidak? “Aku mau, kapan?” tanyaku bersemangat.
“Besok sore
sepulang latihan. Aku bisa menunggumu berganti baju lalu kita bisa pergi.’
“Tidak usah,
kita langsung saja.”
Mungkin
pergi bersama seorang teman akan menghilangkan perasaan aneh ini. Aku sudah
tidak sabar menenggelamkan diriku bersama buku-buku itu. Kebetulan yang sangat
langka, tabunganku untuk membeli buku sudah lebih dari cukup.
“Ayo, Nan.”
Agung termasuk anak orang kaya di sekolah. Ia ke sekolah membawa mobil setiap
hari. Jadi aku pergi ke toko buku naik mobilnya. Ada yang aneh hari itu.
Tatapan mata Agung, tidak seperti biasanya. Tapi aku tidak tahu maksudnya.
Sampai di toko
buku aku langsung menghambur ke bagian sastra. Dan Agung entah kemana. Kurasa
Agung sudah mendapatkan buku-bukunya. Kami membayar ke kasir.
“Yang itu jadi
satu sama saya saja, Mbak.” Aku menoleh ke arahnya.
“Ya ampun, aku
bisa bayar sendiri, Agung.”
“Tidak
apa-apa, Nan. Sekali-kali apa tidak boleh?” ia tersenyum.
Ia membayar
semua bukuku. Wah baik hati sekali orang ini. “Makan dulu, ya? Aku lapar
sekali.”
“Boleh, tapi
kali ini aku yang traktir.” Aku bersikeras.
“Boleh, kamu
mau makan dimana?” tanyanya.
“Kafe dekat
sini. Mereka jual makanan enak.” Mengikuti arahanku, kami tiba tanpa tersesat.
Aku memsan makanan kesukaanku, Tomato Rice dan segelas jus jeruk. Sedangkan
Agung hanya memesan Kebab dan segelas kopi.
“Aku tidak
tahu ada Kafe di sini, setahuku hanya beberapa restoran cepat saji..”
“Berpetualanglah,
Kawan.’ Aku nyengir kepadanya.
“Nan, ada
sesuatu yang harus bicarakan padamu. Tapi habiskan dulu makananmu.”
Aku hanya
mengangguk lalu mulai menyantap makananku, tentu saja aku berpikir apa yang
akan dibicarakannya. Tentu sesuatu yang penting. tapi apa? Semua makanan itu
tandas olehku.
“Untuk seorang
perempuan porsi makanmu lebih besar.” Ia tersenyum lembut.
“Ya, agak
memalukan memang.” Aku menunduk malu. Tiba-tiba saja Agung meraih tanganku. Aku
menatapnya bingung.
“Nan, mungkin
sudah sejak lama. Tapi maafkan aku baru mengungkapkannya sekarang.”
“Ada apa,
Gung?” aku semakin bingung dengan perkataannya.
“Nan, aku
saying kamu..”
Apa? Agung
barusan bilang.. Ia menyangiku? Tapi kenapa? Kenapa harus Agung yang
mengatakannya kepadaku kenapa bukan dia? Andai saja, aku menyayanginya juga
dengan cara yang sama. Tapi aku tidak. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi
Arista, Diana, Kella, Bagus, dan teman-teman yang lain. Aku menatapnya,
kepalaku menggeleng. Hanya rasa pedih yang kuberikan untuknya saat itu. “Tidak,
Agung. Aku tidak bisa. Maafkan aku…”
“Karena
Jason?”
“Bukan, sejak
awal aku memang belum jatuh cinta pada siapapun.” Aku mengakuinya. Tapi
benarkah?
“Kalau begitu,
Nan. Aku akan terus berusaha agar hatimu termiliki olehku.” Ia tersenyum,
walaupun ada kekecewaan di sana.
“Maafkan
aku..” sekali lagi aku berucap. Baru kali ini ada seseorang yang menyatakan
cinta padaku. Dan itu sahabatku sendiri.
“Setidaknya
beri aku kesempatan, Nan. Kamu mau kan?”
Aku menghela
nafas. Tidak apa mungkin memberinya kesempatan. Mungkin itu sedikit mengobati
rasa sakit yang telah kubuat untuknya. “Ya.”
“Terima kasih,
Nan.”
Aku
memberikannya senyumku yang paling tulus. Di mobil kami agak canggung awalnya,
tapi Agung dengan segala pesonanya mampu membuat suasana menjadi lebih hangat.
Ibu tidak
begitu terkejut aku pulang agak malam karena aku sudah meminta ijin tadi pagi.
Ia hanya terkejut karena yang pulang bersamaku bukan Jason.
“Biasanya kamu
pulang dengan Jason, kenapa sekarang sama teman yang lain?”
“Sekali-kali
bergau sama orang lain, Bu.” Jawabku sekenanya, aku merebahkan diri di sofa
ruang tamu. Merasa suntuk sekali.
“Kalian
bertengkar ya? Ada masalah apa sebenarnya? Barangkali ibu bisa bantu.”
“Tidak ada
apa-apa, Bu. Jason sedang tidak masuk, kebetulan temanku itu mau ke tempat yang
sama denganku. Itu saja.”
Aku
mengabaikan Ibuku yang menatapku dengan pandangan geli. Ibu yang aneh.
Untungnya besok hari Minggu. Aku mau tidur sampai siang saja.
“Nan, bangun.
Mau tidur sampai jam berapa kamu?”
“Jam 11 deh
bu. Nan ngantuk sekali.”
“Perawan macam
apa kamu bangun jam segitu? Ada Jason di luar.”
Kenapa orang
menyebalkan itu harus datang ke rumah. Mengganggu tidur orang saja. “ Iya, Bu.
Nan sikat gigi dulu.”
Dengan langkah
berat aku menuju kamar mandi. Menyikat gigi sekenanya dan mencuci muka hanya
dengan air dingin. Di teras ada Jason dengan tampilan seperti model-model yang
aku lihat di peragaan busana di New York. Dan aku sangat kusut di semua
sisinya.
“Ada apa?
Mengganggu tidurku saja.” Aku duduk di sebelahnya. Biar saja badanku masih bau.
Salah sendiri menemui orang yang baru bangun tidur.
“Aku hanya
ingin menjelaskan, Nan. Tentang Camryn..”
“Ah iya, pacar
kamu itu ya?” aku memutar bola mataku dengan dramatis. “Kita ke lapangan saja.”
Aku diam saja
sepanjang jalan. Bertingkah cuek. Seolah aku tidak peduli pada Jason. Padahal
aku begitu merindukannya. Melihatnya tadi sedikit menutup luka di dadaku. “Nan,
dia memang kekasihku. Tapi itu dulu..”
“Kalau dulu
kenapa sekarang masih mesra sekali ya? Oh iya lupa, cinta lama bersemi kembali
kan masih ada.” Kenapa dari tadi aku mendramatisir semua ucapanku padanya? Ya
ampun, Jason. Sungguh bukan itu yang ingin kuucapkan.
“Nan, jangan
potong ucapanku.” Suaranya begitu tenang, namun sungguh dingin hingga aku agak
gemetaran. Aku mentapnya dengan malas.
“Tidak, Nan.
Apapun itu cintaku untuk Camryn sudah mati.”
“Lalu kenapa
kalian berciuman? Sepertinya kamu menikmatinya.” Aku menundukkan wajah. Malu
sekali mengatakan itu.
“Tidak seperti
yang kamu lihat. Boleh percaya atau tidak.” Ia mencengkeram kedua lenganku,
wajahnya mendekatiku. “Maafkan aku karena harus membuatmu berada dalam situasi
yang tidak mengenakkan.” Ia kemudian memelukku. Pelukan hangat yang lain, kali
ini seperti ia ingin meremukkan seluruh tubuhku karena pelukannya. Tapi tidak
terasa sakit sama sekali.
“Ya, Jason.”
Lama sekali kami berpelukan.
“Aku piker
kamu cemburu pada Camryn saat itu.” Ia meraih wajahku memaksaku menatapnya.
Mendapati sinar menggoda di mata kelabunya.
“Siapa yang
cemburu?” wajahnya menjadi lebih dekat, seperti akan menciumku. Tapi bibirnya
mendarat di hidungku, ia mengecupnya lembut. Tentu saja wajahku memerah.
“Hm..
Benarkah?” ia masih memelukku.
“Jason, ada
satu hal yang harus kuberitahu kepadamu.” Aku menelan ludah dengan susah payah.
“Agung
menyatakan cinta padaku.” Aku mengatakan setiap suku katanya dengan hati-hati.
Tubuhnya agak
menegang memelukku. Kemudian berangsur rileks. “Sudah kuduga. Bilang padanya.”
“Apa?”
“Kalau mau
mendapatkanmu, langkahi dulu mayatku.” Ia makin mempererat pelukannya.
“Tapi aku
memberinya kesempatan.”
“Tidak boleh,
Nan. Kamu milikku.” Ia mengucapkannya dengan keyakinan yang dalam. Membuatku berbunga-bunga.
Melayang ke langit entah yang keberapa, aku tidak merasakan tanah yang kupijak
karena sepenuh diriku bergantung padanya.
Apakah ini
cinta? Ini yang orang sebut-sebut itu? Bahkan lebih memabukkan, membuatku
kecanduan luar biasa. Ini lebih dari sekedar emosi. Ini lebih dari ketertarikan
sesaat. Ini menakjubkan.. dan aku menyukainya.
“Kalau begitu,
kamu juga tidak boleh dengan Camryn.” Aku bernafas pelan.
“Kenapa?” ia
bertanya dengan nada menggoda. Aku meraih pipinya. Halus bagai pualam. Dengan potongan
tegas di setiap sisi.
“Karena kamu
milikku.” Demi apapun, darimana aku bisa berkata seberani itu?
“Ya,
Nan. Sayangku..”
No comments:
Post a Comment