24 Desember 2011. Mungkin itu hari yang paling
kunanti-nanti. Karena pada hari itu aku memulai pendakian pertamaku. Dan yang
akan jadi puncak pertamaku adalah Gunung Lawu. Kesanalah kaki dan hatiku akan
melangkah.
Pagi itu aku dan kawan-kawan PA Bhawana Jaya sudah
berkumpul di depan musholla sekolah, kami akan melakukan pendakian bersama
kawan-kawan dari Armopala. Dan juga beberapa orang. Total rombongan kami
sekitar 24 orang.
Mas Qitux , Pembina PA kami menyewa sebuah angkutan umum
untuk membawa kami ke terminal(karena perjalanan selanjutnya kami harus naik
bis menuju Magetan). Tapi saat Pak Umar, kepala sekolah kami melepas kepergian
kami, beliau meminjamkan mobil sekolah kepada kami untuk pergi ke
terminal(dan itu pertama kalinya sekolah
member perhatian lebi kepada PA). karena kapasitas tempat duduk yang sangat
terbatas. Jadi hanya yang perempuan saja yang diantar mobil sekolahan, ditambah
pak ketua PA yang tiba-tiba saja sudah ada di pojokan mobil.
Lalu kami berangkat menuju ke terminal, sampai di terminal
ternyata sudah ramai sekali bisnya. Kami menunggu sekitar satu jam lebih, tapi
tak kunjung ada bis yang kosong. Akhirnya Mas Qitux menyewa bus untuk kami.
Lalu kami berangkat menuju Magetan.
Awalnya perjalanan begitu menyenangkan, kami bercanda ria.
Aku duduk satu bangku sama Mbak Nanda, tapi lama kelamaan keadaan menjadi sepi.
Hanya Mas-mas dari Armopala yang masih “begejekan” dibelakang bis.
Sampai di Magetan, kami mengisi bensin di sebuah pom
bensin. Pas saat bis berhenti, Mbak Gobez langsung turun dan muntah-muntah.
Kami yang melihat kejadian itu tidak langsung menolongnya malah mentertawainya.
Setelah agak reda baru kami menolongnya. Setelah itu aku dan beberapa teman
lain pergi ke toilet pom bensin. Karena letak toiletnya dibelakang, kami agak
kesulitan menemukan letaknya. Tetapi akhirnya toilet itu kami temukan, dan ad
ataman yang indah dekat toilet itu. Ada 2 ekor anjing didalam taman itu,
untunglah pagar taman itu lumayan
tinggi, sehingga anjingnya tidak bisa mengejar kami.
Setelah buang air kecil dsb. Kami melanjutkan perjalanan
menuju Cemoro Sewu. Sepanjang perjalanan ke Cemoro Sewu kami dihadapkan
pemandangan khas pegunungan yang asri dan indah. Hawa dingin mulai merasuk. Aku
rapatkan jaketku. Dibawah saja sudah sedingin ini. Apalagi jika diatas nanti?
Beberapa puluh menit kemudian kami sampai di jalur
pendakian Cemoro Sewu. Setelah menurunkan barang-barang kami, kami istirahat
sebentar, lalu sholat ashar. Setelah sholat ashar kami makan dulu disebuah
warung sederhana. Lalu tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Rencana awal
pendakian yang awalnya kami mulai jam 4
sore jadi harus tertunda.
Aku berdoa dalam hati, supaya hujan ini cepat reda. Karena
jika hujan tidak reda-reda kemungkinan perjalanan ini jadi makin berat.
Akhirnya jam 16.30 hujan mulai reda.
Kami membentuk formasi lingkaran dan mulai berdoa. Lalu kami memulai awal
pendakian kami.
Jantungku berdetak cepat, karena ini adalah pendakian
pertamaku. Aku belum berpengalaman apa-apa soal mendaki gunung,mungkin hanya
sekian persennya saja. Tapi aku mantapkan hatiku dan dalam hati berkata:aku
bisa, harus bisa, dan pasti bisa.
Lalu aku berjalan perlahan mengikuti irama nafasku. Jalanan
mulai menanjak. Nafas semakin tersengal. Kulihat temanku Pitria nafasnya sudah
sangat tidak teratur. Aku lalu menggegam tangannya dan menyemangatinya.
Akhirnya kami berdua berjalan bergandengan bersama.
Air bekas hujan mengalir dari atas kebawah, membuat jalur
Cemoro Sewu yang berbatu-batu menjadi licin. Kami harus sangat berhati hati.
Kami memasuki daerah yang banyak pohonnya, jadinya suasana
semakin gelap saja sore itu, lalu tiba-tiba saja kami disuguhi hamparan padang
bunga berwarna kuning(bayangkan seperti di film kuch kuch ho ta hai). Sungguh
indah, saying aku tidak sempat berfoto, hanya Mas Akbar saja yang sempat
berfoto, karena Mas Qitux menyuruh kami cepat-cepat agar sampai di pos 1.
Selepas kami dari padang bunga yang indah itu, rintik
hujan menemani langkah kami. Perjalanan
semakin berat. Aku susah mengatur irama langkah dan nafasku. Aku berjalan
perlahan, berusaha mengatur nafasku. Perlahan hari mulai gelap, jarak pandang
hanya 0.5 meter. Aku berjalan sambil meraba-raba jalanan didepanku. Akhirnya
kukeluarkan mata keduaku, yaitu. Senter. Benda ini adalah mata keduaku ketika
di gunung atau tempat gelap.
Angin berhembus. Menambah dinginnya petang itu. Karena
sebelum mendaki banyak verita kalau Gunung Lawu itu masih ada hubungannya sama
Nyi Roro Kidul, aku jadi agak merinding, apalagi ketika jarakku cukup jauh
dengan kawan-kawanku. Sesekali aku berteriak kepada kawan-kawanku, dan Allah mengjinkanku
mendengar sahutan mereka.
Akhirnya sampailah kami di pos I. itu baru pos I, belum pos
II tempat kami ngecamp nanti malam. Kami beristirahat sejenak disana, menunggu
teman-teman yang ada dibelakang.
Aku minum lebih banyak saat di pos I, karena kami berhenti
agak lama disini. Didepan pos I ada beberapa warung yang tutup. Aku tidak
begitu terkejut dengan kehadiran warung-warung itu. Karena jauh sebelum
pendakian ini, Ibu sempat bercerita tentang Gunung Lawu.
Selama beristirahat kami bertemu dengan pendaki lain,
walaupun tidak saling kenal kami saling menyapa. Inilah keistimewaan yang tidak
pernah aku dapat selain di gunung. Menyapa orang yang bahkan kita belum kenal.
Seperti kita ini saudara. Itulah satu dari sekian banyak pelajaran moral yang
aku dapat ketika naik gunung.
Akhirnya semua anggota kami berkumpul, lalu kami
melanjutkan perjalanan ini. Kakiku sudah mulai pegal-pegal, nafasku sangat
tidak keruan. Aku berhenti ,dan duduk di sebuah batu besar. Saat aku
mengarahkan senterku kea rah batu besar dibawahku, ada pemandangan yang membuat
hatiku agak miris.
Coretan-coretan tak bertanggung jawab tertoreh di batu itu.
Tak seharusnya ada disitu. Kenapa ya ? aku bertanya dalam hatiku. Tapi sepi,
tak ada jawaban. Mungkin hanya sesorang yang belum sadar.
Lalu aku lanjutkan perjalananku, saat menuju pos II, adalah
saat-saat terberat. Karena jarak pos I ke pos II adalah jarak terjauh, sekitar
1,2 km. saat itu aku, Mbak Ina, Mbak Gobez, dan Mas Wardana berjalan bersama.
Satu senter untuk 2 orang, itu dilakukan untuk menghemat baterai senter kami.
Barangkali ada yang mati, senter lain masih ada.
Hari sudah gelap, nafas kami semakin tersengal-sengal. Aku
kesulitan mengatur irama langkah agar seirama dengan nafasku. Biasanya aku lakukan hal itu agar tidak mudah sesak
nafas.
Lama-lama aku merasa
sangat lelah, padahal barang bawaanku tak seberapa banyak ketimbang
senior-seniorku. Tapi aku terus berjalan. Selangkah demi selangkah. Peluh
bercampur air hujan yang membasahi
menetes seiring langkah kaki menapak.
Senior-seniorku selalu berkata, “Ayo.. semangat … krang 2
tikungan” iya kurang 2 tikungan. Tikungan kanan dan kiri. Tapi itu selalu jadi
motivasiku untuk terus berjalan. Saat kami berjalan, terdengar kabar bahwa Mbak
Chum, tiba-tiba sesak nafas. Aku tidak
tahu bagaimana keadaannya, tapi sebenarany saat itu kami sangat khawatir.
Akhirnya terlihat pos II , walaupun sudah dekat. Rasanya
masih jauh sekali, akhirnya kumantapkan hati lalu melangkah. 15 menit kemudian
sampailaha kami di pos II. Alhamdulilah. Akhirnya kami sampai di tempat
ngecamp. Di pos II juga ada warung.
Lalu kami mendirikan tenda, saat mas-mas sedang mendirikan
tenda . mbak chum datang, kasihan sekali. Wajahnya sudah sangat memucat, saat
dia duduk di sebuah batu, aku langsung berdiri dibelakangnya, berusaha
menjaganya agar tetap hangat.
Tiba-tiba saja dia pingsan,berat badannya yang agak lebih
berat dariku, membuatku sedikit kepayahan. Lalu aku meminta tolong, dan beberapa
orang memberinya pertolongan, saat itu aku sangat cemas. Tidak hanya aku, semua orang yang ada di pos
II juga terlihat cemas. Akhirnya Mbak Chum sadar, ia dibawa ke dalam pos II.
Udara sangat dingin saat itu, ditambah hujan yang turun cukup deras. Kami semua
kedinginan malam itu.
Akhirnya kami membuka bekal makan yang sudah kami siapkan
dari rumah, kami makan bersama, Om Pendik kebetulan membawa minuman
bersoda(jangan ditiru). Lalu kami minum soda itu beramai-ramai, tiba-tiba saja
Mbak Chum bangun, dia meminta untuk disuapin. Karena aku dan Mbak Chum duduk
dibelakang Mbak Nanda, jadi kami berdua disuapin sama Mbak Nanda. Setelah makan
malam, tenaga Mbak Chum pulih kembali ia kembali “begejekan” bersama kami.
Lalu ada yang berkata: “tibakne Chum keleson” sontak kami
semua tertawa. Lalu setelah makan kami habiskan soda yang dibawa Om Pendik .
lalu aku mendapat gelas yang beraroma seperti pewangi pakaian, berhubung sudah
haus aku tidak peduli lagi.
Setelah itu kami punguti sampah kami lalu kami masukkan ke
dalam tas. Setelah itu kami bercanda dengan beberapa pendaki lain. Didalam pos
II ada 2 orang bapak-bapak dan seorang anak kecil kira-kira 10 tahun umurnya.
Juga ada beberapa anggota pramuka.
Puas bercengkrama kami tidur, kami tidur bersebelahan
dengan bapak dan anak tadi juga beberapa anggota pramuka. Jam 11 malam bapak-bapak dan anak tadi
melanjutkan perjalanan disusul beberapa
anggota pramuka.
Malam itu kami tidur berjejer seperti ikan pindang. Dingin sekali malam
itu. Mungkin inilah saat paling dingin selama 16 tahun aku hidup. Gigiku
bermeletukan. Jaket lapis 3 yang
kugunakan seolah tidak cukup mengurangi rasa dingin yang menusuk. Hujan turun dengan derasnya. Malam itu kami tidur
berselimut dingin.
Aku ingin mala mini cepat-cepat berlalu, agar rasa dingin
ini tidak semakinmenyiksaku. Tetapi setiap kali aku terjaga, jam masih
menunjukan pukul 12 malam. Rasanya itu adalah malam terpanjang. Aku tidak
berhenti menggigil. 2 orang cewek anggota pramuka yang memilih tinggal di pos
II terlihat sangat kedinginan. Timbul rasa khawatir dibenankku. Mbak ini lebih
butuh jaket daripada aku. Lalu aku bilang ke Mas Wildan mau pinjam jaket buat
mbak yang tidur disebelahku.
Semua orang tidur berjejer dan berjubel, tidak peduli
laki-laki ataupun perempuan. Karena bagi kami yang terpenting saat itu adalah
kebersamaan. Tengah malam hujan mulai reda, aku terbangun lagi, rupanya Mbak
Denok dan Mbak Gobez mau pergi buang air kecil. Mumpung ada barengannya aku
memutuskan untuk sekalian buang air bersama mereka.
Saat selesai melakukan hak kami. Mbak Gobez berteriak
kepada kami kalau bintangnya indah sekali. Dan sungguh luar biasa indah sekali
hamparan langit diatasku. Seperti aku sedang berada di luar angkasa.
Bintang-bintangnya banyak sekali. Tidak seperti yang ada di kota(dikota hampir
tidak ada bintang). Gambaran singkatanya bias dilihat di Mbah Google dengan
keyword “bintang”.hehehe .
Sungguh indah sekali pemandangan itu. Hal yang tak pernah
aku dapatkan di luar gunung. Aku dapatkan di sini. Karena dinginnya udara kami
segera beranjak menuju “tempat tidur” kami. Hujan yang berhenti turun tak
mengurangi hawa dingin yang merasuk ke dalam tubuh. Kami semua sama.
Kedinginan. Aku tak pernah semenderita itu. Tapi ada sensasi lain yang belum
pernah aku rasakan sebelumnya. Dan itu jadi pelajaran berharga buatku.
Aku coba tidur kembali, tapi rasanya sulit. Aku tidak
mengantuk. Lalu aku dan Mbak Gobez sempat berbincang, kami menikmati
pemandangan langit. Hamparan langit Maha
Sempurna, bertahta bintang-bintang angkasa. Mungkin itu lagu yang tepat
untuk pemandangan ciptaanNya.
Lalu kamipun tertidur semua.
Keesokan paginya kami terbangun, udara dingin menusuk tubuh
kami. Jaket semaki kurapatkan. Pagi itu kami membuat sarapan. Mas Wardana
membuatkan kami teh. Lumayan buat menghangatkan badan. Setelah kami berfoto, kami makan pagi. Kami sempat
bercengkrama dengan beberapa pendaki lain disana.
Setelah beres-beres sisa sampah kami. Kami melanjutkan
perjalanan menuju pos III. Perjalan ini terasa sangat menyenangkan. Karena
cuaca cukup cerah, jadi rasanya berjalan tidak terlalu capek. Karena kami
disuguhi pemandangan yang sangat indah. Selain itu para pendaki juga sangat
ramah. Walaupun tidak saling kenal kami saling menyapa dan member semangat.
Tibalah kami di pos III. Disini kami istirahat, tapi tidak
terlalu lama kami langsung melanjutkan perjalanan ke pos IV. Sepanjang
perjalanan kami sesekali bercanda, beristirahat sejenak. Mengobrol smabil
berjalan. Irama nafas dan langkahku juga sinkron.
Tenang, walaupun masih ada rasa lelah. Tapi tidak begitu
berarti. Semua karena tertutupi rasa takjub akan keindahan alam ini. Sampailah
kami di pos IV. Pos IV ini sangat sederhana. Hanya terdiri dari sebuah tanaman
rambat yang dibentuk melingkar seperti bunga. Sam seperti di pos III tadi, kami
juga tak begitu lama beristirahat.
Langsung cabut ke Hargo Dalem. Rencana kami akan ke puncak
hari itu juga, karena hari belum terlalu sore. Rasanya Hargo Dalem jauh sekali,
aku ingin segera sampai puncak.
Setelah dari pos IV, jalan yang kami lalui kebanyakan jalan
landai. Beban semakin berkurang. Lalu tiba-tiba saja kabut menjadi tebal.
Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah warung. Kami makan ,
mengobrol, dan bercanda. Juga tak lupa kami berfoto.
Setelah kabut agak reda kami mulai melanjutkan perjalanan.
Karena Gunung Lawu terkenal mistisnya, banyak penduduk yang melakukan ritual
khusus disini. Makanya tak jarang aku dan teman-teman menemukan dupa, sesaji,
dan kawan-kawannya.
Akhirnya kami sampai Hargo Dalem. Kami memasuki pondokan
itu,lalu makan. Setelah itu kami sempat berfoto-foto di Rumah botol, letaknya
persis dibelakang pondokan kami.
Setelah puas berfoto kami melanjutkan perjalanan menuju
Puncak Hargo Dumilah. Kabut cukup tebal pada saat kami muncak. Tapi kami tetap
melanjutkan perjalanan.
Aku bersama Mas Agung saat menuju puncak, kami mengobrol
tentang Lawu. Lalu tiba-tiba terdengar suara Mbak Ina
“WOOOOEYY…..PUNCAK…PUNCAK..AYO REGH!!!”. Entah apa yang terjadi, semangatku
langsung naik, tenagaku menjadi semakin banyak, aku setengah berlari.
Dan akhirnya. Alhamdulilahirobbilalamin. Aku sampai puncak.
Aku bisa. Hatiku sangat senang. Perasaanku tak karuan bahagianya. Ini puncak
pertamaku, dan aku berjanji ini bukan puncak terakhirku. Aku akan terus naik
gunung. Menikmati alam ini, mencintai alam ini.
Mas Anjar tiba-tiba menyalami kami, dan member kami ucapan
selamat. Hore(meskipun bukan siapa-siapa).
Setelah puas berfoto. Kami kembali ke Hargo Dalem. Karena
kabut sudah turun lagi, kami harus segera cepat-cepat kembali ke Hargo Dalem.
Takutnya kami kesasar.
Lalu kami kembali. Setelah itu kami memasaka makan malam.
Karena seniorku ada yang tidak ikut, dia member kami beberapa ransum tentara.
Dan itu sangat isitimewa. Aku, Mas Cipeng, Mas Anjar, Mas Agung, Mbak Chum
memakan nasi kaleng yang biasanya untuk tentara. Hehehe.
Sore itu kami mengisi waktu luang(karena kami akan turun besok) dengan bermain kartu.
Awalnya menyenangkan. Lalu kami bermain ABCan, memang sedikit kekanakan. Tapi
itulah kenyataannya. Yang kalah memijat yang menang. Sungguh kebersamaan yang
jarang kurasakan.
Saat bermain ABCan, kami dikejutkan dengan kedatangan
Gubernur Jateng yang datang ke Hargo Dalem. Kami diminta untuk tenang, tapi
berhubung kami agak “ndablek” dan masih muda, kami secara tidak sengaja tertawa
keras saat ada teman kami yang terlihat konyol.
Lalu karena sudah malam, dan kami mulai kelelahan, akhirnya
kami tidur. Aku , Mas Qitux, Mbak Denok, Mbak Ina, dan Mas Akbar satu sleeping
bag, Mas Anjar memasukan tasnya kedalam tas agar hangat. Seperti halnya di pos
II, kami susah tidur.
Tengah malam Cak Tajab memasakkan kami mie instan. Tengah malam kami makan. Lau kami
mencoba kembali tidur. Tengah malam aku membangunkan Mbak Gobez untuk buang air
kecil. Saat itu kami pergi keluar berdua. Dan kabut sedang tidak turun malam
itu. Jadi pemandangan dibawah terlihat sangat jelas. Hamparan langit yang
bertahtakan bintang-bintang angkasa, lampu-lampu kota. Sepeti kapal Titanic.
Lalu kami kembali ke pondokan dan mencoba tidur. Pagi akhirnya
tiba. Aku dan Mas Wardan mengobrol, kami bercerita tentang semalam(kami beda
pondokan). Ternyata Mas Wardana sempat ke Pasar Setan. Dia bercerita dengan
begitu asyiknya sehingga aku penasaran dengan Pasar Setan.
Akhirnya aku dan beberapa orang pergi mengunjunginya.
Disana kami sempat bertemu dengan beberapa pendaki. Ada kejadian lucu. Aku
tidak tahu kenapa orang itu, tetapi dia mendekatiku dan berkata “Mbak, aku
punya uang satu ribu loh..” aku hanya bengong. Tidak mengerti apa maksudnya.
Saat di Pasar Setan kami tidak boleh mengambil gambar.
Gambarannya ada batu-batu bertumpuk yang sangat rapi susunannya. Sebenarnya
tempat itu sekali. Dengan sentuhan mistis. Karena harus segera sarapan kami
semua kembali ke pondokan.
Tiba disana kami sarapan, untung ada Cak Tajab yang memasak untuk kami. Ada mie, sarden, nugget,
nasi , sop, dll. Setelah sarapan kami beres-beres.
Lalu kami berpamitan pada
seorang Mbah yang menunggu Hargo
Dalem. Lalu kami melanjutkan perjalanan untuk turun. Pada saat perjalan turun aku
dan Mas Wardana menemukan sebuah jurang yang cukup dalam. Dan karena banyak
sesaji dan dupa, mungkin tempat itu sering digunakan untuk ritual-ritual khusus
masyarakat setempat.
Lalu kami lanjutkan perjalanan kami. Sepanjang jalan kami
mengobrol, bercanda. Aku bersama Mas Wildan, Reka, Mas Wardana, dan beberapa
Mas Armopala berjalan agak belakang. Ada seorang teman Mas Wardana yang punya
tawa khas nan aneh. Setiap dia tertawa aku selalu ikut tertawa, bukan karena
apa, tetapi karena tawanya sangat lucu.
Tiba-tiba saja teman Mas Wardana tertawa dengan suara
khasnya. Aku menoleh kebelakang, lalu terawa. Tiba-tiba saja kakiku tergelincir
kebawah, tubuhku ikut oleng, aku berusaha menahan tubuhku agar tidak jatuh
dengan kaki, tapi malah kakiku yang kiri keseleo. Aku berteriak kesakitan. Rasanya mau
nangis saat itu. Rasanya sungguh tak tertahankan, saat itu langsung saja Mas
Wardana meluruskan kakiku, karena sakit sekali aku berteriak sangat kencang,
tak terasa air mataku keluar.
Aku sangat panic, bagaimana kalau aku pulang kerumah dalam
keadaan pincang? Apa yang harus aku jelaskan kepada Bapak dan Ibu? Bagaimana
ini? Aku sangat panik. Lalu Mas Wardana membawakan tasku. Aku sedikit tidak
enak karena seharusnya itu bebanku. Lalu Mas Somat membuatkan aku tongkat dari
batang pohon yang sudah patah, aku berjalan terpincang pincang. Kaki ku sakit
sekali. Sampai di pos III kami beristirahat.
Seorang pendaki menawariku counterpainnya. Lalu aku
mengoleskannya ke kakiku yang keseleo, lumayan mengurangi rasa sakitnya.
Setelah berterima kasih kami melanjutkan perjalanan. Jalanku sudah agak
mendingan. Aku meminta kembali tasku kepada Mas Wardana(malu dilihat pendaki
lain). Lalu kami melanjutkan perjalanan. Di pos II, teman-teman yang baik
menungguku, disana mereka berfoto, sementara Cak Tajab membenahi kakiku.
Katanya ini Cuma kepelicuk, sembuhnya cepat gak sampai satu hari. Untunglah.
Alhamdulilah. Aku lega sekali saat itu. Setelah dibenahi, aku sudah bisa
berjalan agak normal.
Aku lebih banyak diam. Lalu setelah lewat pos I. aku dan
Mas Wardana jalan bersama, kami membicarkan soal sepak bola dan “pacar”nya Mas
Wardana. Lama setelah itu gerbang Cemoro Sewu terlihat di depan mata. Aku
senang sekali. Karena begitu banyak pengalaman yang telah aku dapat selama di
Gunung Lawu. Puncak pertamaku, tapi bukan yang terakhir.
Kami berfoto di depan gerbang Cemoro Sewu.
Setelah itu kami mandi dan makan. Kami menggu bus charteran
kami, aku membeli beberapa stiker sebagai kenang-kenangan.
Setelah itu bus datang membawa kami pulang. Sempat di
tengah jalan kami terjebak macet. Tapi
Kami pulang dengan senang, membawa cerita kami masing-masing. Itulah
cerita puncak pertamaku tapi bukan yang terakhir. Dan terima kasih Tuhan, Engkau
memberikan nikmatMu pada kami dan melindungi kami dari kami pergi sampai kami
pulang kerumah masing-masing dengan tubuh lelah tapi hati gembira.
No comments:
Post a Comment