BAB 2
Mimpiku selalu
diisi dengan hal-hal fantasi, negeri fantasi, saangat anak-anak. Tapi entah ada
penyakit apa, orang itu hadir di mimpiku. Tapi kenyataan itu cukup membuatku
senang. Ada yang berbeda kalau begitu. Syukurlah. Bangun jam 6 pagi untuk
remaja perempuan seusiaku adalah hal yang paling malas di dunia. tapi untunglah
aku tidak pernah terlambat datang ke sekolah. Tapi jam 5 aku sudah terjaga,
bangun dengan jantung berdebar-debar. Perasaan tegang tapi menyenangkan. Perutku
seperti terlilit tapi dengan sensasi yang berbeda. Seperti hari ini adalah hari
yang berbeda dari kebanyakan hari.
Kursi di
pojokan seolah jadi singgasanaku. Sebenarnya bebas memilih bangku dimanapaun
kita suka, tapi entah kenapa
teman-temanku seolah itu sudah menjadi tempatku. Satu kebaikan mereka. Sebelum
masuk kelas aku sempat ke kantin untuk membeli makanan ringan, aku tidak sempat
sarapan tadi karena perutku rasanya tak mampu menelan makanan karena rasa
melilit yang aneh.
Tapi aku harus
mengisi setidaknya sedikitlah daripada kelaparan. Roti bakar cokelat dan
sekotak susu kurasa lebih dari cukup mengganjal perut. Aku makan dalam diam,
dari belakang kudengar Arista “Ratu Gosip” kelas sedang bergosip dengan
beberapa teman perempuan yang lain.
“Ada bule hari
ini jadi teman baru kita.” Katanya berapi-api.
“Sumber dari
mana Arista?” Kella menyahut, dahinya berkerut penasaran.
“Papa kemarin
bilang ke aku,” Arista adalah putri kepala sekolah, entah kenapa aku merasa
bapak kepala sekolah adalah orang yang jarang bicara tapi lebih banyak
bertindak, berbalik dengan putri semata wayangnya.
“Ganteng gak?”
Ambrin menyahut.
“Kaya?” kali
ini Diana yang bertanya.
“Sempurna!!!!!!”
Arista berkata dengan gaya dramatis. Aku muak melihat gaya itu. Tapi Arista
bukan orang yang sepenuhnya jelek. Ia orang yang sangat peduli kepada sesama,
karena dia, 6 anak yang hamper putus sekolah berhasil menyambung sekolah karena
ia membujuk ayahnya. Sayang, sifat baiknya tertutup oleh tampilan luarnya yang
suka bergosip.
Ingat bule,
aku jadi tersenyum-senyum sendiri. Ingat Jason. Lalu kerumunan di depan kelas
terbubarkan oleh langkah guru yang masuk. Wali kelas kami, seorang guru
Kewarganegaraan. Seorang lelaki paruh baya dengan tampang-aku sudah bosan
dengan kelakuan orang-orang ini- berkumis, dan kurus. Ia tersenyum, di
sampingnya ada seorang laki-laki asing. Orang luar negeri sepertinya,
mungkinkah dia yang dibicarakan anak-anak? Tunggu dulu.. dia kan.. Jason!!!!!
Berdiri di depan, menebarkan senyumnya. Berbicara dengan Bahasa kami.
Ini sungguh
suatu kebetulan yang ajaib. Rasa terkejutku berubah menjadi perasaan yang aneh.
Jantungku berdebar kencang, rasa melilit di perutku juga mulai terasa melilit.
“Senang bisa
berkenalan dengan kalian. Aku harap kalian bisa membantu tahunku di Indonesia.”
Ia tersenyum lebar.
“Kamu bisa
duduk dimanapun, tapi mengingat kursi yang masih kosong hanya yang dibelakang.”
Ia tersenyum kecut. Dan kursi yang dimaksud wali kelas kami itu disebelahku!
“Terima kasih,
Pak.”
Ia menuju
kemari dan semakin dekat. Aku mencoba tersenyum, tapi yang keluar adalah senyum
terjelek menurutku. Dan.. Tatapannya penuh tuduhan dan tajam, nyaliku yang
sudah ciut menjadi lebih menciut hingga hamper dikatakan aku tidak punya nyali
lagi. Aku memalingkan wajahku, menghadap ke buku. Perasaan pertamaku adalah
kecewa, tentu saja. Kemudian berubah menjadi marah dan kesal. Bagaimana mungkin
dia berlaku sangat sopan dan ramah kepadaku tiba-tiba ketika menjadi dekat
denganku bisa bersikap sekurang ajar ini? Dia piker siapa? Apa mungkin karena dia
populer di sini? Anak baru saja sudah berani buat ulah. Menyebalkan!
Awas saja, aku
tidak akan menemuimu di taman nanti sore. Aku sudah terlalu muak. Mungkin dia
memang sempurna, tapi tetap saja. Dia harus diberi pelajaran, aku tidak akan
menerima undangan yang awalnya membuatku melambung tinggi seperti itu.
Sepanjang jam
pelajaran aku sangat amat tidak bisa berkonsentrasi, antara jantungku yang tak
mau berhenti berdebar dan rasa frustasi dengan sifat Jason yang sedingin es.
Semoga cepat jam istirahat. Aku tidak tahan dengan atmosfer ini. Doaku
terkabbul. 5 mneit kemudian bel istirahat berbunyi.
Aku segera
kabur dari kelas, kubawa buku cerita “abunawas” ku lalu pergi ke sudut sekolah
yang sepi. Yang katanya banyak hantu di tempat ini. Dan anehnya ini terasa
nyaman. Letaknya di gedung lama sekolah, di lantai 2. Disini aku bisa melihat
seluruh sisi sekolah. Dengan semilir angin yang sejuk. Koperasi sekolah adalah
sisi terdekat yang bisa kulihat. Tempat ini masih belum ramai, dan kulihat si
Jason pergi kesana. Ia berbicara dengan anak OSIS yang menjaga koperasi.
Kelihatannya ia membutuhkan dasi dan beberapa alat tulis juga buku-buku. Entah
dari mana, tiba-tiba para gadis sudah berada di belakangnya. Memandangnya
dengan tatapan memuja. Memuakkan sekali. Kulihat Jason diam saja dilihat dengan
buas oleh gadis-gadis itu.
Saat sedang
mengamati Jason, entah punya ilmu telepati atau apa. Dia mengangkat kepalanya
ke arah ku. Ia berjalan santai, menujuku. Ada maunya orang ini? “Jangan lupa.
Nanti sore. Aku tahu kamu akan mangkir kali ini.”
“Memang kalau
aku mangkir kenapa?” tanyaku menantang.
“Aku akan
bilang ke Ibumu kalau anak perempuan kecilnya sudah mulai bermain cinta
denganku.” Ia tersenyum mengejek. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kalau ibu
melarangku berpacaran?
“Baiklah. Tapi
jelaskan nanti.”
“Jelaskan
apa?” tanyanya bingung.
“Nanti saja.
Pergilah dari sini sebelum gadis-gadis itu menggangguku.” Aku mendorong
tubuhnya menjauh.
Ia hanya
mengangkat bahu, tidak tersenyum tidak apa. Saat itu bel terdengar. Aku masih malas
bangkit dari tempat nyaman ini. Tapi nanti guru akan menghukumku kalau aku
datang terlambat. Hari berlalu dengan cepat. Tiba-tiba saja sudah jam setengah
4. Aku memutuskan memakai celana pendek yang sering kupakai untuk main di taman
dan kaos bergambar Batman.
Aku membawa
kameraku. Jason sudah menunggu di kursi taman itu. Aku rasa aku terlambat.
“Maaf, sepertinya kau datang duluan. Aku terlambat. Apakah kau menunggku
terlalu lama?”
“Tidak,
duduklah. Aku sudah membawa formulirnya.” Jason mengeluarkan sebuah tab. Ia
memilah dokumen dan membuka yang ada formulir kontes foto itu. “Kurasa mengirim
via email akan lebih cepat daripada via kantor pos.” ia tersenyum hangat.
“Terserah
kamu. Oh iya, kenapa sikap kamu berbeda sekali dengan di sekolah?” aku bertanya
dengan tampang seperti orang bodoh.
“Rahasia.” Ia
terkekeh. Aku mendesah kesal.
“Ayo kita isi
saja formulirnya.” Ujarku kesal. Ia menanyakan nama lengkap lamat, dan beberapa
perntanyaan untuk diisi di formulir itu. Kemudia ia mengirimnya kesebuah
alamat. Saat aku hendak melihat kemana
formulir akan dikirim ia menyembunyikannya dari pandanganku sambil tersenyum
mengejek.
“Kau sudah
memindahkan semua foto ke dalam memory ini?”
“Sudah. Ada
beberapa fotomu disitu.”
“Kenapa?”
“Kenapa
apanya?” lagi-lagi aku bertanya dengan bodohnya.
“Kenapa fotoku
juga kamu masukkan?”
“Itu foto
terbaikku.” Ungkapku jujur.
Dia hanya
mengangkat alisnya yang tebal.” Kubawa dulu ya. Sampai bertemu di sekolah.
Ngomong-ngomong, tidakkah kau tahu?”
“Apa?”
“Kamu terlihat
cantik meski dengan baju anehmu itu.”
Kali ini
pipiku dibuat memerah. Aku tak mampu berkata-kata. Ia tertawa lalu melangkah
pergi. Dasar Jason sialan.
Esok hari di
sekolah berjalan seperti biasanya. Jason juga berubah menjadi sosok yang dingin
dan kaku. Karena hari ini para guru akan rapat di SMA lain kami pulang pagi.
Sesuatu yang tidak terlalu kusukai karena waktu bersama Jason lebih sedikit.
Aku mengemasi barangku, aku memutuskan ke gedung sekolah lama. Mau menikmati
angina segar. Sekolah sudah sangat sepi. Tiba-tiba Casandra. Ratu kecantikan
sekolah dan beberapa temannya yang bergaya modis sekali menghadang jalanku.
Mereka terkenal sekali, bahkan satu sekolah di kota mengenalnya. Tapi biasanya
yang berurusan dengannya adalah orang yang mau bunuh diri.
Aku santai
saja karena aku merasa tidak bermasalah dengannya. Tapi entah kenapa tatapan
membunuhnya tajam sekali. Tapi aku biasa saja. Mungkin sehariannya memangs
seperti itu.
“Bereskan.”
Satu kata itu sangat ajaib, teman-temannya yang badannya tinggi dan langsing
langsung mengunci tubuhku. Mereka menyeretku seolah aku mainan saja. Aku
berteriak-teriak. Tapi teriakanku hanyalah seperti erangan lemah. Mereka
menyumpal mulutku dengan sapu tangan. Sampai ujung bibirku terasa mau sobek.
Aku hanya bisa mengalirkan air mata. Tanpa suara. Mungkin jika satu lawan satu
aku bisa membuat mereka lebam-lebam, tapi 1 lawan 6? Mati saja.
“Berhenti!”
suara itu. Suara dingin dengan nada mengancam. Tapi itu membuatku merasa aman
dan lega.
“Kenapa,
Jason. Perempuan aneh ini mengganggu usahku mendapatkanmu.” Ujar Casandra. Ia
menggelayuti lengan Jason. Tapi laki-laki itu menpiskannya, kemudian
menghampiri gadis-gadis yang memitingku. Akhirnya pegangan mereka terlepas.
Saat Jason belbalik menghadap Casandra. Salah seorang temannya memotong rambut
bagian belakangku.
Saat aku
tersadar bahwa rambut panjangku hasil memanjangkan bertahun-tahun di gunting.
Aku shock. Jason melihat wajahku pucat , menggendongku di punggungnya. Aku
hanya diam, rambut indahku…
Rasanya mau
mati saja. Tapi aku bukan orang yang mdah menangis. Aku hanya terdiam di
belakang punggunngnya. Membiarkan pikiranku melayang. Aku sedang tidak ingin
memikirkan apa-apa saat ini. Ia menurunkanku di depan kamar mandi perempuan.
“Rapikan dulu
rambutmu.” Jason menyerahkan gunting kecil kepadaku.”Tunggu aku disini,
barangku ada yang ketinggalan.” Lalu Jason berbalik pergi. Aku menatap bayangan
wajahku di cermin. Rambutku berantakan, rambut bergelombangku, rusak dibagian
kanan hingga belakang, Devina sungguh kejam. Aku melihat gunting yang diberikan
Jason masih ada di tanganku. Belum kugunakan. Sedikit sakit hatiku saat
memotong rata rambutku. Hingga akhirnya sebuah rambut pendek seleher yang ada.
Sudahlah, mau
bagaimana lagi? Aku hanya tinggal menunggu rambut ini tumbuh lagi. Toh aku akan
terlihat sama saja. Sama tidak cantiknya. Ada sebuah sapu di sudut. Aku
mengambilnya dan membersihkan sisa-sisa rambutku.
“Tidak buruk,
kau terlihat lebih seperti… anak-anak.” Ia tersenyum. Kapan dia berada disitu?
“Hm.. Aku mau
pulang. Kau?”
“Ya, kita
pulang bersama.”
Pertama kali
ini aku pulang ditemani seseorang. Karena terbiasa berjalan tanpa ada teman,
rasanya agak canggung bagiku. Dan apa yang harus kujelaskan pada Ibu jika aku
pulang bersama Jason? Kami sama sekali tidak berbicara. Jason kembali memasang
wajah datarnya. Karena SMA ku tidak mengenakan seragam putih abu-abu pada
umumnya, jadi penampilan Jason dengan kemeja putih dan celana panjang hitam
seragam sekolah kami membuatnya terlihat keren, walaupun dia pakai karung goni
saja sudah membuat para gadis histeris.
Untungnya
ibuku tidak sedang di depan rumah. “Sampai sini saja.” Aku berhenti di
depannya. “Terima Kasih sudah menolongku. Tapi kelakuan mereka aneh. Aku rasa
aku tidak pernah punya urusan dengan mereka. Kenapa tiba-tiba mereka berbuat
jahat padaku?”
“Entahlah,
sekarang kau tidak perlu takut pada mereka.”
“Aku tidak
takut.” Bantahku.
“Sampai jumpa
di sekolah.” Ia meninggalkanku dengan langkah yang anggun namun tegas. Ia
benar-benar teman yang baik. Kurasa aku harus bisa menyesuaikan sikapnya yang
berubah ubah. Dan jantungku berdebar lagi. Kali ini dengan cara yang membuatku
nyaman dan tersenyum.
No comments:
Post a Comment